FIQIH JIMA’
Bagian 3
Abu Ghozie As-sundawie
(1)-ANJURAN PEMANASAN SEBELUM JIMA’ :
Imam Ibnu Qoyyim -rahimahullah- berkata tentang Petunjuk Nabi -shalallahu alaihi wasallam- dalam bersenggama :
وَمِمَّا يَنْبَغِي تَقْدِيمُهُ عَلَى الْجِمَاعِ مُلَاعَبَةُ الْمَرْأَةِ، وَتَقْبِيلُهَا، وَمَصُّ لِسَانِهَا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُلَاعِبُ أَهْلَهُ وَيُقَبِّلُهَا.
Dan yang harus didahulukan dalam besenggama adalah mencumbu sang istri, menciumnya, dan menghisap lidahnya. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- terhadap para istrinya.
(2)-CIUMAN DAN CUMBU RAYU :
وَرَوَى أبو داود فِي ” سُنَنِهِ ” أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «كَانَ يُقَبِّلُ عائشة، وَيَمُصُّ لِسَانَهَا» . وَيُذْكَرُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ الْمُوَاقَعَةِ قَبْلَ الْمُلَاعَبَةِ» .
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya bahwasanya beliau mencium Aisyah -radhiyallahu anha- dan menghisap lidahnya. Dan disebutkan dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: “Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- melarang hubungan seksual sebelum dilakukannya mula’abah (pemanasan).”
(3)-ANJURAN MANDI SETIAP KALI BERJIMA’ :
وَكَانَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رُبَّمَا جَامَعَ نِسَاءَهُ كُلَّهُنَّ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ، وَرُبَّمَا اغْتَسَلَ عِنْدَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ، فَرَوَى مسلم فِي ” صَحِيحِهِ ” عَنْ أنس، أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ( «كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ» ) .
Terkadang beliau menyetubuhi semua istrinya dengan sekali mandi. Dan terkadang beliau mandi setiap selesai dari menyetubuhi salah seorang istrinya. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Anas, bahwa Nabi pernah berkeliling kepada para istrinya dengan sekali mandi.
وَرَوَى أبو داود فِي ” سُنَنِهِ ” عَنْ أبي رافع مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «طَافَ عَلَى نِسَائِهِ فِي لَيْلَةٍ، فَاغْتَسَلَ عِنْدَ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ غُسْلًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! لَوِ اغْتَسَلْتَ غُسْلًا وَاحِدًا، فَقَالَ: (هَذَا أَزْكَى وَأَطْهَرُ وَأَطْيَبُ» ) .
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya dari Abu Rafi’ maula Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- , bahwa Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- telah menggilir seluruh istrinya dalam satu malam dan mandi pada setiap istri. Lalu aku mengatakan: “Ya Rasulullah, andai engkau mandi sekali saja.” Beliau menjawab: “Ini lebih menyegarkan dan lebih bersih serta lebih baik.”
(4)-BERWUDHU DALAM MENGULANGI JIMA’ :
وَشُرِعَ لِلْمُجَامِعِ إِذَا أَرَادَ الْعَوْدَ قَبْلَ الْغُسْلِ الْوُضُوءُ بَيْنَ الْجِمَاعَيْنِ، كَمَا رَوَى مسلم فِي ” صَحِيحِهِ ” مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( «إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ» ) .
Orang yang melakukan hubungan seksual dan ingin mengulangi hubungannya sebelum mandi, disyariatkan untuk berwudhu. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu anhu- ia berkata, Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian berhubungan seks dengan istrinya kemudian ingin mengulanginya, hendaklah dia berwudhu.”
(5)-AGAR GAIRAH DATANG KEMBALI :
وَفِي الْغُسْلِ وَالْوُضُوءِ بَعْدَ الْوَطْءِ مِنَ النَّشَاطِ، وَطِيبِ النَّفْسِ، وَإِخْلَافِ بَعْضِ مَا تَحَلَّلَ بِالْجِمَاعِ، وَكَمَالِ الطُّهْرِ وَالنَّظَافَةِ، وَاجْتِمَاعِ الْحَارِّ الْغَرِيزِيِّ إِلَى دَاخِلِ الْبَدَنِ بَعْدَ انْتِشَارِهِ بِالْجِمَاعِ، وَحُصُولِ النَّظَافَةِ الَّتِي يُحِبُّهَا اللَّهُ، وَيَبْغَضُ خِلَافَهَا مَا هُوَ مِنْ أَحْسَنِ التَّدْبِيرِ فِي الْجِمَاعِ، وَحِفْظِ الصِّحَّةِ وَالْقُوَى فِيهِ.
Di dalam mandi dan berwudhu terdapat kegairahan (membangkitkan gairah sex), menyegarkan jiwa, memulihkan sebagian rasa letih setelah melakukan hubungan seksual, menyempurnakan kesucian dan kebersihan, mengumpulkan kehangatan alami ke dalam badan setelah tersebar dengan berjima’, diperolehnya kebersihan yang dicintai oleh Allah dan Allah benci lawannya. Dan ini merupakan pengaturan yang paling baik dalam jima’, menjaga kesehatan dan kekuatan di dalam jima’. (Zaadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim) (Bersambung)