Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie Hafidzhahullahu Ta’ala
____________
Sebelum Islam datang, Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu anhu adalah pemuda Quraisy yang paling puas mengenyam kenikmatan hidup.
Tidak ada yang memakai baju seperti bajunya, tidak ada yang memiliki minyak wangi seharum miliknya, sampai-sampai jika Mush’ab bin ‘Umair lewat di suatu jalan lalu orang-orang lewat sesudahnya maka mereka akan berkata, “Mush’ab telah melewati jalan ini,” karena aroma harum yang ditinggalkan oleh Mush’ab radhiyallahu anhu.
Tiba-tiba awan iman bergerak di atas kepalanya dan menumpahkan seluruh airnya kepadanya sehingga dia minum dan mandi darinya.
Pada saat yang bersamaan, iman pun meresap ke dalam hati dan jasadnya.
Sesaat kemudian dia berubah. Dia menjejakkan kakinya di atas tanah, namun kepalanya menanduk bintang kejora.
Dia berjalan dengan penuh kepercayaan di atas jalan kebenaran dan kebaikan menuju ke rumah Al Arqam tempat Nabi shalallahu alaihi wasallam menyampaikan dakwah di awal islam.
Mushab bin ‘Umair datang menghadap kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallan seolah untuk mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa pemuda yang hidup dalam kemewahan dan kemanjaan ini telah berganti baju.
Sejak saat itu, anak muda ini yang selalu hidup dalam limpahan kenikmatan berubah menjadi seperti tokoh dongeng (karena begitu hebatnya) dalam bidang dakwah, pemberian, dan pengorbanan.
SYAHID DI MEDAN UHUD
Di sisi jasad Mush’ab yang terbunuh sebagai syahid di perang Uhud, Nabi shalallahu alaihi wasallam pun meneteskan air mata.
Khabbab bin al-Arat radhiyallahu anhu berkata:
“Kami berhijrah bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kami mengharapkan wajah Allah, maka kami mendapatkan pahala dari sisi Allah.
Di antara kami ada yang telah pergi mendahului dan belum mengambil pahalanya (buah hijrah) sedikit pun.
Di antaranya adalah Mush’ab bin’Umair. Dia gugur di Perang Uhud dan meninggalkan selembar kain.
Jika kami menutupi kepalanya dengan kain itu maka dua kakinya terlihat dan jika kami menutupi kakinya maka kepalanya terlihat, akhirnya kami menutupi kepalanya dengan kain tersebut, sedangkan kakinya kami tutupi dengan daun idzkhir.
Diantara kami ada yang mendapatkan buahnya telah ranum maka dia tinggal memetiknya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
JASA YANG SELALU DI KENANG
Para Sahabat Nabi radhiyallahu anhu senantiasa mengenang Mush’ab setiap waktu.
Wajah Mush’ab tidak pernah hilang dari mereka sekejap pun.
Inilah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu dikisahkan bahwa makanan dihidangkan kepadanya pada saat dia sedang berpuasa, maka dia berkata, “Mush’ab bin ‘Umair telah gugur dan dia lebih baik dariku.
Dia dikafani dengan selembar kain. Jika kain itu ditutupkan ke kepalanya maka kedua kakinya terbuka, dan jika ditutupkan ke kedua kakinya maka kepalanya yang terbuka.”
Ia berkata pula, “Hamzah telah gugur dan dia lebih baik daripada aku.
Kemudian dunia dibentangkan untuk kita sebagaimana yang kita rasakan.”
Ia juga menuturkan, “Kami telah diberi dunia seperti ini.
Kami khawatir ini adalah kebaikan yang disegerakan kepada kami.”
Lalu Abdurrahman menangis sehingga dia meninggalkan makanan”. (HR Bukhari)
LOYALITAS MUSH’AB BIN ‘UMAIR
Ibnu Ishaq rahimahullah berkata, “Nabih bin Wahb, salah seorang dari Bani Abdud Dar menyampaikan kepadaku bahwa ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam pulang membawa para tawanan, beliau menitipkan mereka kepada para Sahabat.
Beliau shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Berbaik-baiklah kalian kepada Para tawanan.”
Salah seorang tawanan adalah Abu’Aziz bin ‘Umair bin Hisyam, saudara kandung Mush’ab bin’Umair.
Abu ‘Aziz berkata, ‘Mush’ab bin ‘Umair melewatiku ketika seorang laki-laki Anshar menawanku, maka Mush’ab berkata kepada lelaki Anshar tersebut, ‘Kuatkan ikatanmu kepadanya karena ibunya orang kaya. Dia akan menebusnya kepadamu.’
Abu Aziz berkata, ‘Aku tinggal bersama beberapa orang Anshar ketika mereka pulang dari (Perang) Badar.
Jika saat makan pagi atau petang tiba, mereka memberiku roti, sedangkan mereka sendiri memakan kurma karena mereka menjalankan wasiat Rasulullah shalallahu alaihi wasaallam agar berbuat baik kepada kami para tawanan.
Tidak ada potongan roti yang jatuh ke tangan salah seorang dari mereka kecuali dia mengembalikannya kepadaku sehingga aku merasa malu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka, namun dia menolak dan mengembalikannya lagi kepadaku.”
Ibnu Hisyam rahimahullah berkata, “Abu ‘Aziz adalah pemegang panji orang-orang musyrikin di Perang Badar setelah an-Nadhr bin al-Harits.
Ketika Mush’ab bin ‘Umair, saudaranya, berkata demikian kepada Abul Yasar yang menawan Abu ‘Aziz, ‘Aziz berkata kepada Mush’ab,
“Saudaraku! Itukah kata-katamu kepadaku?’
Maka Mush’ab menjawab,’
Dialah saudaraku dan bukan engkau.’
Selanjutnya ibu Abu ‘Aziz bertanya berapa uang tebusan orang Quraisy yang paling mahal, maka dia mengirim 4.000 dirham untuk menebusnya setelah diberitahu bahwa itulah harga yang paling mahal”.
(Sirah Ibnu Hisyam 3/54).
Semoga Allah meridhai dan merahmati para Sahabat seluruhnya, serta semoga kita bisa meneladani mereka dalam meniti hidayah islam.