SIKAP BIJAK DISAAT FITNAH MELANDA

?️  Ustadz Abu Ghozie As Sundawie Hafidzhahullahu Ta’ala

Ketika terjadinya huru hara, timbulnya berbagai kekacauan, banyaknya pembunuhan dan pertumpahan darah, penyimpangan dalam agama, menyebarnya kejahilan, ketimpangan ekonomi dan sosial serta keterpurukan, diperparah dengan orang-orang bodoh yang berbicara tentang urusan penting hajat orang banyak, kedzaliman para pejabat dan penguasa maka inilah diantara fitnah-fitnah akhir zaman yang hendaknya seorang muslim dituntut untuk bersikap bijak, diantara sikap tersebut :

[1] Berdo’a kepada Allah Ta’ala minta perlindungan dari fitnah. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

تَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنْ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Berlindunglah kalian kepada Allah dari segala fitnah, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi” (HR Muslim : 2867). Berdasarkan hadits diatas maka Lafadz do’anya : Allahumma inni a’udzubika minal Fitan Maa Dzaharo minha wama bathan.

[2] Memperbanyak amal shalih, meningkatkan ketakwaan secara umum. Dari Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا.

“Segeralah kalian beramal sebelum datangnya fitnah laksana potongan gelap malam gulita, seseorang paginya beriman sorenya sudah kafir, sorenya beriman paginya sudah kafir, dia menjual agamanya dengan harta dunia” (HR Muslim : 118)

[3] Menjaga lisan dari berkomentar dari setiap apa yang kita dengar. Khususnya dalam perkara Nawazil. Lebih-lebih di medsos yang lebih mudah penyebarannya ibarat angin berhembus. Nawazil jama’ dari Nazilah, maksudnya yaitu kejadian-kejadian atau masalah-masalah kontemporer yang terjadi pada kaum muslimin. Dan nawazil ini dikenal juga dengan istilah hawadits.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah :

الْعَالِمُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ؛ فَهُوَ الْمُجْتَهِدُ فِي أَحْكَامِ النَّوَازِلِ

“Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para sahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara Nawazil”. (I’lamul Muwaqi’in 4/212) Dalam kondisi fitnah jangan mudah menshare berita atau komentar sebelum di cek kebenarannya.

Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْ لاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“ Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) .Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu). (QS An-Nissa : 83)

Tidak setiap apa yang kita dengar untuk diucapkan. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata :

حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ: فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ، وَأَمَّا الآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا البُلْعُومُ

“Saya menghafal dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kantong. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang lainnya kalau saya sebarkan maka akan diputus leher ini”. (HR Bukhari : 120)

‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu berkata :

حَدِّثُوا النَّاسَ، بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ، اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Berceritalah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan ?”. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Ali bin Abi Thalib diatas :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمُتَشَابِهَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يذكر عِنْد الْعَامَّة وَمثله قَول بن مَسْعُودٍ وَمِمَّنْ كَرِهَ التَّحْدِيثَ بِبَعْضٍ دُونَ بَعْضٍ أَحْمَدُ فِي الْأَحَادِيثِ الَّتِي ظَاهِرُهَا الْخُرُوجُ عَلَى السُّلْطَانِ وَمَالِكٌ فِي أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ وَأَبُو يُوسُفَ فِي الْغَرَائِبِ وَعَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ أَنْكَرَ تَحْدِيثَ أَنَسٍ لِلْحَجَّاجِ بِقِصَّةِ الْعُرَنِيِّينَ لِأَنَّهُ اتَّخَذَهَا وَسِيلَةً إِلَى مَا كَانَ يَعْتَمِدُهُ مِنَ الْمُبَالَغَةِ فِي سَفْكِ الدِّمَاءِ بِتَأْوِيلِهِ الْوَاهِي

“Didalamnya ada dalil bahwa perkara yang mutasyabih (yang mengandung beberapa pengertian) tidak pantas disebutkan pada khalayak umum”. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud lalu beliau berkata : “Di antara orang-orang yang tidak senang memberikan hadits pada sebagian orang adalah imam Ahmad dalam hadits-hadits yang zhohirnya membolehkan khuruj (kudeta) terhadap pemerintah, dan imam Malik dalam hadits-hadits tentang sifat-sifat (Allah), dan Abu Yusuf tentang hadits-hadits yang ghorib (aneh dari sisi makna maupun lafazh).

Dan Dari Al-Hasan ia mengingkari Anas (radhiyallahu ‘anhu) menceritakan kepada Hajjaj tentang kisah Al-Uraniyyin karena ia akan menjadikannya sebagai wasilah yang selama ini ia pegang dalam berlebihan menumpahkan darah dengan ta`wil yang lemah. (Fathul Bari 1/225)

[4] Menuntut ilmu syar’i, karena dengan memahami syari’at ini dengan benar ia akan punya filter tidak mudah ikut-ikutan terbawa arus dengan fitnah, tidak mudah mengikuti emosi atau perasaannya, tapi kokoh dengan ilmunya. Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu ia berkata :

عَصَمَنِي اللَّهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى، قَالَ: “مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ ” قَالُوا: ابْنَتَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً”، قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي البَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللَّهُ بِهِ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ

Allah telah menjaga ku dari fitnah (perang jamal) berkat sesuatu (satu hadits) yang aku dengar dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ketika Kisra (raja Persia) meninggal, beliau bersabda, “siapa penggantinya?” Para Sahabat menjawab, “putrinya”, maka beliau pun bersabda, “Tidak akan sukses selamanya sebuah kaum, yang menyerahkan urusan mereka (pemimpin) kepada seorang perempuan”. Abu Bakrah radhiyallahu anhu berkata, “Ketika Aisyah radhiyallahu berangkat ke Bashrah, aku ingat hadits Rasulullah tersebut, maka Allah pun menyelamatkan aku (dengan tidak ikut’ikutan fitnah yaitu peperangan jamal)” (HR Tirmidzi : 2262)

Abdullah bin Ziyad Al Asadi berkata, “Tatkala Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah berangkat ke Bashrah, Ali mengutus ‘Ammar bin Yasir dan Hasan bin Ali mendatangi Kami di Kufah, lantas keduanya naik mimbar. Ketika itu Al Hasan bin Ali diatas mimbar di tangga paling atas, sedang Ammar berdiri dibawah Al Hasan, kami berkumpul di sekelilingnya, dan aku mendengar ‘Ammar mengatakan” :

إِنَّ عَائِشَةَ قَدْ سَارَتْ إِلَى الْبَصْرَةِ وَ وَاللَّهِ إِنَّهَا لَزَوْجَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ابْتَلَاكُمْ لِيَعْلَمَ إِيَّاهُ تُطِيعُونَ أَمْ هِيَ

“Aisyah tengah berangkat ke Bashrah, demi Allah, ia adalah isteri Nabi kalian (Shallallahu ‘alaihi wasallam) di dunia dan di akherat, namun Allah Tabaraka wata’ala menguji kalian agar Dia mengetahui, apakah kalian taat kepada-NYA atau kepada Aisyah”. (HR Bukhari : 7100)

[5] Bersabar tidak mudah melakukan tindakan yang hanya mengikuti perasaan dan hawa nafsu.

اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ

‘Bersabarlah, sebab tidaklah kalian menjalani suatu zaman, melainkan sesudahnya lebih buruk daripadanya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. Aku mendengar hadist ini dari Nabi kalian Shallallahu ‘alaihi wasallam.’ (HR Bukhari : 7068)

Diantara bentuk yang wajib kita hindari adalah tidak memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim, karena mudharat yang ditimbulkannya akan jauh lebih besar daripada maslahat yang didapatkan, bahkan ketika dibolehkan pun untuk memberontak kepada penguasa yang jelas-jelas kekufurannya, tanpa adanya syubhat, tetap di syaratkan adanya kemampuan serta tidak adanya kemudharatan, kalau tidak maka kita diperintah untuk bersabar. Dari ‘Ubadah bin As Shamit radhiyallahu anhu ia berkata :

أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ»، قَالَ: «إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kami berbai’at (kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) untuk senantiasa mendengar dan taat (kepada para pemimpin) baik dalam perkara yang kami senangi atau yang kami benci, dalam kesusahan maupun dalam kemudahan, dan juga ketika pemerintahan bersikap mementingkan diri mereka sendiri. Dan kami tidak diperbolehkan untuk mencabut urusan pemerintahan dari orang yang menjabatnya, Beliau bersabda, “kecuali jika kalian melihat adanya kekafiran yang nyata, maka ketika itu kalian memiliki keterangan yang nyata di hadapan Allah Ta’ala.” ( HR. Bukhari : 7055 dan Muslim : 1709).

Namun dilarang mentaati pemimpin dalam perkara kemaksiatan. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin ‘Ali radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

لَا طَاعَةَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.

“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam kebaikan” (HR Muslim : 1840)

Wajib bersabar atas kedzaliman pemimpin, dengan tetap memberikan nasehat bagi yang mampu sesuai dengan kapasitasnya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma, dari Nabi shalallahu alaihi wasallam beliau bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang ia benci, maka hendaklah ia bersabar atas hal tersebut. Karena barangsiapa yang meninggalkan jama’ah (persatuan kaum muslimin) satu jengkal kemudian ia meninggal dunia, kecuali ia meninggal dunia seperti mati jahiliyah.” (HR Bukhari : 7054, Muslim : 1849)

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

Siapa saja yang ingin menasehati para penguasa dengan suatu urusan maka janganlah dengan terang terangan, akan tetapi pegang tangannya berdua-duaanlah, kalau diterima nasehat kita itu yang kita harapkan, dan kalau tidak mau maka sungguh engkau telah menyampaikannya (HR Ahmad : 15369, dishahihkan oleh Al Albani di kitab Fi Dzilalil Jannah : 1096).

Demikianlah semoga menjadi bahan renungan dan pada zaman fitnah semakin diam kita semakin selamat insya Allah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

سَتَكُونُ فِتَنٌ الْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْقَائِمِ وَالْقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنْ الْمَاشِي وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنْ السَّاعِي مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ فَمَنْ وَجَدَ مِنْهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِه

“Akan terjadi fitnah, ketika itu yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, yang berjalan lebih baik daripada yang berlari, barangsiapa berusaha menghadapi fitnah itu, justru fitnah itu akan mempengaruhinya, maka barangsiapa mendapat tempat berlindung atau base camp pertahanan, hendaklah ia berlindung diri di tempat itu (HR Bukhari : 3601, Muslim :2886 ),

Wallahu A’lam.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *