Diantara bentuk bentuk IBADAH yang tidak di syariatkan di hari ‘Asyuro, namun masih banyak diantara kaum muslimin yang masih mengkhususkannya dan mengamalkannya pada hari ‘Asyuro :
Syaikh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata :
“وَمِنْ بِدَعِ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ فِيْهِ : إِحْيَاءُ لَيْلَتِهِ بِالذِّكْرِ وَالتَّعَبُدِ وَتَخْصِيْصِ دُعَاءٍ لَهُ بِاسْمِ (دُعَاءِ عَاشُوْرَاءَ) وَأَنَّ مَنْ قَرَأَهُ لَمْ يَمُتْ تِلْكَ السَّنَةَ وَقَراءة سورةً فيها ذكر موسى عليه السلام في صلاة الصبح يوم عاشوراء والاجتماع ذلك اليوم للذكر والدعاء ونعي الحسين ذلك اليوم على المنابر وأن البخور يوم عاشوراء رقيةٌ لدفع الحسد والسحر والنكد..وغير ذلك مما يأباه الله ورسوله والمؤمنون..”
“Termasuk bentuk bid’ah dzikir dan do’a adalah menghidupkan malam hari ‘Asyura dengan dzikir dan ibadah, mengkhususkan do’a pada malam hari ini dengan nama doa hari ‘Asyura, yang konon katanya barang siapa yang membaca doa ini tidak akan mati di tahun tersebut. Atau membaca surat al Quran yang disebutkan nama Musa pada shalat subuh hari ‘Asyura, atau berkumpul pada hari tersebut untuk berdzikir, berdoa serta meratapi al Husain diatas mimbar, dan bahwasanya bukhur pada hari ‘Asyura adalah sebagai ruqyah untuk mencegah hasad, sihir dan gangguan…dan lainnya dari hal yang Allah dan Rasul Nya serta kaum mukmini tidak meridhainya” (Tashhihud Du’a, hal. 109)
Mereka melakukannya beralasan dengan beberapa hadits hadits namun semua hadits hadits tersebut tidak shahih bahkan kebanyakannya hadits hadits palsu (maudhu’), diantaranya :
Syaikh Ahmad Abdullah As Sulami hafidzahullah berkata,
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْر
sebanyak 70 kali pada waktu setelah Maghrib. Setelah itu membaca doa di bawah ini sebanyak tujuh kali.
بسم الله الرحمن الرحيم. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الرِّضَا وَزِنَةَ الْعَرْشِ, لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنَ اللهِ إِلَّاَ إِلَيْهِ, سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ وَعَدَدَ كَلِمَاتِ اللهِ التَآمَّاتِ كُلِّهَا, نَسْأَلُكَ السَّلَا مَةَ كُلَّهَا بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ, وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّاَ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَهُوَ حَسْبُنَا وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ, نِعمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Syaikh ‘Utsman al Khamis berkata :
المَوْقِفُ النَّاسِ مِن قَتْلِ الْحُسَيْنِ : لاشَكَّ وَلَا رَيْبَ أَنَّ مَقْتَلَ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ مِنَ الْمَصَائِبِ الْعَظِيمَةِ الَّتي أُصِيبَ بِهَا الْمُسْلِمُونَ فَلَمْ يَكُنْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ ابْنُ بِنْتِ نَبِيٍ غَيْرُهُ وَقَدْ قُتِلَ مَظْلُومًا رَضِيَ اللهُ عَنه وَعَن أَهْلِ بَيْتِهِ،
Sikap manusia terhadap pembunuhan al Husain : Tidak diragukan lagi bahwasanya peristiwa terbunuhnya al-Husain radhiyallahu anhu merupakan musibah besar yang menimpa umat Islam. Karena tidak ada lagi cucu laki-laki dari anak perempuan Rasulullah yang masih hidup, selain dia. Kini ia telah terbunuh secara teraniaya dan sebagaimana yang juga menimpa ahli baitnya.
وَقَتْلُهُ بِالنِّسْبَةِ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِن الْمُسْلِمينَ مُصِيبَةٌ، وَفِي حَقِّهِ شَهَادَةٌ وَكَرَامَةٌ وَرَفْعُ دَرَجَةٍ وَقُرْبَى مِنَ اللهِ حَيْثُ اخْتَارَهُ لِلْآخِرَةِ وَلِجَنَّاتِ النَّعِيمِ بَدَلَ هَذِهِ الدُّنْيَا الْكَدِرَةِ.
Peristiwa terbunuhnya al-Husain ini, bagi dunia Islam mempakan sebuah musibah. Namun bagi al-Husain sendiri, ini adalah mati syahid, kemuliaan, pengangkatan derajat, dan kedekatan kepada Allah. Sebab, Allah ta’ala telah memilihkannya negeri akhirat menuju Surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan sebagai pengganti dari dunia yang keruh ini.
ونَحْنُ نَقُولُ: لَيْتَهُ لَمْ يَخْرُجْ، وَلِذَلِكَ نَهَاهُ أَكَابِرُ الصَّحَابَةِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ،
Kita juga mengatakan, alangkah baiknya jika ia tidak Pergi ke Kufah. Oleh karena itulah para pembesar Sahabat melarangnya pergi ke sana pada saat itu.
بَلْ بِهَذَا الْخُرُوجِ نَالَ أُولَئِكَ الظَّلَمَةُ الطُّغَاةُ مِن سِبْطِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى قَتَلُوهُ مَظْلُومًا شهِيدًا، وَكَانَ فِي قَتْلِهِ مِنَ الْفَسَادِ الَّذِي مَا لَمْ يَكُنْ يَحْصُلُ لَوْ قَعَدَ فِي بَلَدِهِ.
Dengan perginya al Husain radhiyallahu anhu, orang-orang zhalim dan keji itu mendapat kesempatan menyakiti cucu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sampai mereka membunuhnya dalam keadaan teraniaya dan syahid. Peristiwa terbunuhnya al-Husain melahirkan kerusakan yang tidak akan terjadi seandainya ia tetap di Madinah.
وَلَكِنَّه أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، مَا قَدَّرَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كَانَ وَلَوْ لَمْ يَشَأِ النَّاسُ.
Akan tetapi, ini adalah takdir Allah Tabaroka wata’ala . Apa yang Allah Tabaroka wata’ala takdirkan pasti terjadi, walaupun manusia tidak menghendakinya.
وَقَتْلُ الْحُسَيْنِ لَيْسَ بِأَعْظَمَ مِن قَتْلِ الْأَنْبِيَاءِ، وَ قَدَ قُدِّمَ رَأْسُ يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْه مَهْرًا لِبَغِيٍّ، وَقُتِلَ زَكَرِيَّا، وَكَذَلِكَ قُتِلَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ، وَهَؤُلَاءِ كُلُّهُم أَفْضَلُ مِنَ الْحُسَيْنِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَعَنْهُ،
Peristiwa terbunuhnya al-Husain tidak lebih dahsyat daripada terbunuhnya para Nabi. Kepala Yahya bin Zakariya dijadikan bayaran kepada seorang pelacur, dan Nabi Zakariya juga dibunuh. Demikian juga dengan ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, Mereka semua lebih utama dibandingkan dengan al-Husain radhiyallahu anhum.
فَلِذَلِكَ لَا يَجُوزُ لِلْإِنْسَانِ إِذَا تَذَكَّرَ مَقْتَلَ الْحُسَيْنِ أَنْ يَقُومَ بِاللَّطْمِ وَالشَّقِّ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ، بَلْ كُلُّ هَذَا مَنْهِيٌّ عَنْهُ فَإِنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَ شَقَّ الْجُيُوبَ »
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menampar-nampar wajahnya atau merobekrobek pakaiannya dan lain-lainnya jika mengingat terbunuhnya al-Husain, bahkan semua itu terlarang darinya, karena sesungguhnya nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek pakaiannya (ketika ada yang meninggal dunia)” (HR Bukhari : 1294, Muslim : 103)
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَنَا بَرِيءٌ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ »
Beliau juga bersabda: “Aku berlepas diri dari as Shaliqah (menjerit), al-Haaliqah (memotong rambut), dan As Syaaqqah Merobek baju) saat ada musibah” (HR Bukhari : 1296, muslim : 140/176)
وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ النَّائِحَةَ إِذَا لَمْ تَتُبْ فَإِنَّهَا تُلْبَسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ دِرْعًا مِنْ جَرَبٍ وَسِرْبَالًا مِنْ قَطِرَانٍ » (صَحِيح مُسلِم (934).).
Beliau shalallahu alaihi wasallam juga bersabda: “Sungguh, jika orang yang meratapi mayit tidak bertaubat maka pada hari Kiamat nanti dia akan memakai baju dari kudis dan pakaian dari ter yang panas” (HR muslim : 934)
فَالوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلْمِ إِذَا جَاءَتْ أَمْثَالُ هَذِهِ الْمَصَائِبِ أَنْ يَقُولَ كَمَا قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: [الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ] {البقرة: 156}.
Kewajiban seorang Muslim saat tertimpa musibah seperti ini adalah mengatakan apa yang difirmankan oleh Allah Tabaroka wata’ala : “(Yaitu) orang-omng yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun (sesunggubnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali). ’” (QS. Al-Baqarah: 156)
Syaikh Utsman al Khamis berkata :
النَّاسُ فِي قَتْلِ الْحُسَيْنِ عَلَى ثَلَاثِ طَوَائِفَ: الطَّائِفَةُ الْأُولَى : يَرَونَ أَنَّ الْحُسَيْنَ قُتِلَ بِحَقٍّ وَأَنَّه كَانَ خَارِجًا عَلَى الْإِمَامِ وَأَرَادَ أَن يَشُقَّ عَصَا الْمُسْلِمِينَ، وَقَالُوا: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ جَاءَكُم وَأَمْرُكُم عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ »
Menanggapi peristiwa ini, orang-orang terpecah menjadi 3 golongan. Pertama : golongan yang memandang bahwa pembunuhan al-Husain radhiyallahu anhu merupakan tindakan yang tidak bisa disalahkan, karena ia memberontak kepada pemimpin dan ingin memecah persatuan kaum Muslimin. Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, “Barang siapa mendatangi kalian untuk memecah-belah , persatuan kalian, sedangkan kalian telah bersatu di bawah satu pemimpin, maka bunuhlah dia, siapa pun orangnya”. (HR Muslim : 1852)
وَالْحُسَيْنُ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمينَ وَالرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كَائِنًا مَنْ كَانَ » اقْتُلُوهُ فَكَانَ قَتْلُهُ صَحِيحًا، وَهَذَا قَوْلُ النَّاصِبَةِ (« النّاصبة: همُ الَّذِينَ ناصبوا عَلِيّا وَأهلَ بَيْتهِ الْعداءَ.) الَّذِينَ يُبْغِضُونَ الْحُسَيْنَ بْنَ عَلِيٍّ رَضِي اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْهُ وَعَنْ أَبِيهِ.
الطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ : قَالُوا: هُوَ الْإِمَامُ الَّذِي تَجِبُ طَاعَتُهُ، وَكَانَ يَجِبُ أَنْ يُسَلَّمَ إِلَيْهِ الْأَمْرُ. وَهُوَ قَوْلُ الشِّيعَةِ.
Kedua, golongan yang mengatakan bahwa al-Husain radhiyallahu anhu adalah pemimpin yang wajib ditaati. Dan seharusnya segala urusan harus diserahkan kepadanya. Ini adalah pendapat Syi ah.
الطَّائِفَةُ الثَّالِثَةُ : وَهُم أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ قَالُوا: قُتِلَ مَظْلُومًا، وَلَمْ يَكُنْ مُتَوَلِّيًا لِلْأَمْرِ أَي: لَمْ يَكُنْ إِمَامًا، وَلَا قُتِلَ خَارِجِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَلْ قُتِلَ مَظْلُومًا شَهِيدًا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « الْحسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ »”
Ketiga, golongan Ahlus Sunnah wal Jama‘ ah. Mereka berpendapat bahwa al-Husain terbunuh dalam keadaan teraniaya. Ketika itu ia bukanlah khalifah, bukan pula terbunuh Sebagai pemberontak. Akan tetapi, ia terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahid, sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam : “Al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin para pemuda penduduk Surga.” (HR Tirmidzi : 3768)
وَذَلِكَ أَنَّهُ أَرَادَ الرُّجُوعَ أَوِ الذَّهَابَ إِلَى يَزِيدَ فِي الشَّامِ وَلَكِنَّهُم مَنَعُوهُ حَتَّى يَسْتَأْسِرَ لِابْنِ زِيَادٍ.
Dan yang demikian itu, bahwasanya al-Husain radhiyallahu anhu ingin kembali atau pergj menuju Yazid di Syam, akan tetapi orang-orang Kufah melarangnya sampai ia harus menjadi tawanan ‘Ubaidullah bin Ziyad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
« بَعْدَ مَقْتَلِ الْحُسَيْنِ أَحْدَثَ النَّاسُ بِدْعَتَيْنِ: الْأُولَى: بِدْعةُ الْحُزْنِ وَالنَّوْحِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ اللَّطْمِ وَالصُّرَاخِ وَالبُكَاءِ وَالْعَطَشِ وَإِنْشَادِ الْمَرَاثِي،
“Setelah peristiwa terbunuhnya al-Husain, orang-orang membuat dua bid‘ah: Pertama, bid‘ah kesedihan dan ratapan yang dilakukan pada setiap hari ‘Asyura’ dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan, dan lantunan syair kesedihan.
وَمَا يُفْضِي إِلَيْهِ ذَلِكَ مِنْ سَبِّ السَّلَفِ وَلَعْنَتِهِمْ وَإِدْخَالِ مَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ مَعَ ذَوِي الذُّنُوبِ حَتَّى يُسَبَّ السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ، وَتُقْرَأُ أَخْبَارُ مَصْرَعِهِ الَّتِي كَثِيرٌ مِنْهَا كَذِبٌ،
Juga, hal-hal lain yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan ini, seperti mencaci dan melaknat para Salaf dan memasukkan orang yang tidak berdosa bersama pelaku yang sebenarnya, sampai mencela para Sahabat. Kemudian dibacakan cerita terbunuhnya al-Husain radhiyallahu anhu yang kebanyakannya adalah kebohongan.
وَكَانَ قَصْدُ مَنْ سَنَّ ذَلِكَ فَتْحَ بَابِ الْفِتْنَةِ وَالفُرْقَةِ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَإِلَّا فَمَا مَعْنَى أَنْ تُعَادَ هَذِهِ الذَّكْرَى فِي كُلِّ عَامٍ مَعَ إِسَالَةِ الدِّمَاءِ وَتَعْظِيمِ الْمَاضِي وَالتَّعلُّقِ بِهِ وَالالْتِصَاقِ بِالْقُبُورِ ».
Tujuan orang yang membuat acara ini adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan umat. Kalau tidak demikian, maka apa maksud mereka mengulang-ulang pembacaan peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri sampai berdarah, mengagungkan dan bergantung kepada masa lampau, serta mengusap-usap kuburan.
الثَّانِيَةُ: بِدْعَةُ الْفَرَحِ وَالسُّرُورِ وَتَوزِيعُ الْحَلْوَى وَالتَّوسِعَةِ عَلَى الْأَهْلِ يَوْمَ مَقْتَلِ الْحُسَيْنِ. وَكَانَتِ الْكُوفَةُ بِهَا قَوْمٌ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ لِآلِ الْبَيْتِ وَكَانَ رَأْسُهُمُ الْمُخْتَارُ بْنُ أَبِي عُبَيْدِ الْمُتَنَبِّىءُ الْكَذَّابُ
Kedua, bid‘ah senang-senang dan gembira ria, membagi: bagikan manisan, dan menggembirakan keluarga pada hari terbunuhnya al-Husain. (Kedua bid‘ah itu dibuat karena pada saat itu) di Kufah ada orang-orang yang membela Ahlul Bait, yang dipimpin oleh al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid, seorang pendusta yang mengaku dirinya sebagai Nabi,
وَقَوْمٌ مِنَ الْمُبْغِضِينَ لِآلِ الْبَيْتِ وَمِنْهُمُ الْحَجَّاجُ بْنُ يُوسُفَ الثَّقَفِيُّ وَلَا تُرَدُّ الْبِدْعَةُ بِالْبِدْعَةِ بلْ تُرَدُّ بإِقَامَةِ سُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُوَافِقَةِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: [الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ] {البقر ة: 156}
Dan ada pula orang-orang yang membenci Ahlul Bait, di antaranya al-Hajjaj bin Yusuf at Tsaqafi. Padahal bid‘ah tidak boleh diberantas dengan bid‘ah serupa, tetapi dengan menegakkan sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam sesuai dengan perintah Allah ta’ala (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, merekea mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun (sesunggubnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). ” (QS. Al-Baqarah: 156) (Minhajus Sunnah 5/554).
[6] Mengkhususkan hari ‘Asyura dengan amalan tertentu seperti mandi, bercelak, menafkahi keluarga, mengusap kepala anak yatim dll
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ إِلَّا مَرَضُ الْمَوْتِ، وَمَنِ اكْتَحَلَ بِالْإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمَدْ عَيْنُهُ، وَمَنْ أَشْبَعَ أَهْلَ بَيْتِ مَسَاكِيْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ مَرَّ عَلَى الصِّـرَاطِ كَالْبَرْقِ الْخَاطِفِ، وَمَنْ عَادَ مَرِيْضًا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا عَادَ مَرْضَى وَلَدِ آدَمَ كُلِّهِـمْ.
“Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyura maka tidak akan sakit kecuali sakit yang membawa pada kematiannya, barangsiapa yang bercelak dengan itsmid pada hari asyura maka tidak akan kena penyakit mata, barangsiapa yang mengenyangkan keluarga yang miskin pada hari asyura maka akan melintasi sirat seperti kilatan cahaya, barangsiapa yang menjenguk orang sakit pada hari ‘Asyura maka seolah telah menjenguk seluruh anak cucu adam yang sakit” (Hadits Palsu)
Para ulama mengatakan :
جَمِيْعُ الْأَحَادِيْثِ الْوَارِدَةِ فِيْ الْاِغْتِسَالِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَالْكُحْلِ وَالْخِضَابِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَفْعَلُهُ أَهْلُ السُّنَّةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ ضِدُّ الشِّيْعَةِ : كُلُّهُ مَوْضُوْعٌ مَا عَدَا الصِّيَامِ.
Seluruh hadits hadits yg datang tentang mandi hari asyura, bercelak, memakai semir rambut atau mengenakan inai dan yg lainnya yg dilakukan ahlus sunnah pada hari asyura selain orang syiah, semuanya hadits palsu kecuali tentang puasa, termasuk masalah yg ditanyakan yaitu memberi atau menambah belanja istri dan keluarga pada hari Asyura, juga tdak benar alias palsu, dimana ada riwayat yang berbunyi :
«مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ»
Barang siapa yg melapangkan belanja keluarganya di hari Asyura maka akan lapangkan keluarganya sepanjang tahunnya (HR Al Baihaqi, Sya’ubul Iman no 3791), Sanadnya Dho’if (lemah)
Syaikhul Islam -rahimahullah- (w 728 H) mengatakan tentang hadits diatas :
وَهَذَا الْحَدِيثُ كَذِبٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَرْبٌ الْكِرْمَانِيُّ : سُئِلَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، فَقَالَ: لَا أَصْلَ لَهُ
“Hadits ini bentuk kedustaan atas nama Nabi -shalallahu alaihi wasallam Harb al Kirmani berkata : Ahmad bin hanbal ditanya tentang hadits ini, maka beliau menjawab : Tidak ada asal usulnya. (Minhajus Sunnah 8/149),
Demikian semoga bermanfaat