Oleh : Abu Ibrohim Muhammad Ali dan Abu Ghozie As Sundawie
1.Makna I’tikaf
I’tikaf secara bahasa berarti “berdiam atau tinggal”, dan maksud dari I’tikaf secara syari’at adalah “berdiam atau tinggal di masjid untuk menegakkan ibadah di dalamnya”(Lihat Al-Mishbahul Munir: 3/424)
2. Hukum I’tikaf
Imam Nawawi f mengatakan:
فَالِاعْتِكَافُ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ وَلَا يَجِبُ إلَّا بِالنَّذْرِ بِالْإِجْمَاعِ
“Hukum I’tikaf adalah sunnah berdasarkan Ijma’ (kesepakatan Ulama), dan para Ulama sepakat bahwa I’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernazar untuk ber-I’tikaf”( lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab: 6/475)
3. Tempat dan Waktu I’tikaf
I’tikaf tempatnya di masjid (QS Al-Baqarah: 182), dan disyari’atkan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar, ‘Aisyah mengatakan:
أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
“Sesungguhnya Nabi k biasanya ber-I’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan, lalu para istrinya ber-I’tikaf setelah sepeninggal beliau” (Muttafaq ‘alaih).
4. Kapan Memulai I’tikaf?
Barangsiapa berniat I’tikaf, hendaklah memulai niat I’tikaf dengan masuk ke masjid sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 dari bulan Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 dari bulan Ramadhan, dan jika dia telah menyiapkan tempat khusus untuk menyendiri seperti tenda (kemah), maka hendaknya masuk ke tempat tersebut setelah shalat Subuh pagi harinya, berdasarkan hadits ‘Aisyah g semoga Allah meridhainya, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ الله إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Jika Rasulullah hendak I’tikaf, beliau shalat Subuh, lalu masuk ke tempat I’tikaf-nya” (Muttafaq ‘alaih).
Inilah mazhab Jumhur (mayoritas) Ulama yang dikuatkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.
5. Hukum Keluar dari Masjid bagi Mu’takif
Adapun keluarnya mu’takif (orang yang I’tikaf –ed) dari masjid, maka para Fuqoha telah membagi menjadi tiga bagian:
Pertama: Boleh, jika untuk keperluan yang memang harus dilakukan secara syari’at atau secara tabi’at, seperti keluar untuk shalat Jum’at, makan dan minum (saat berbuka puasa atau sahur –ed) jika tidak ada orang yang melayaninya, dan keluar untuk berwudhu’, mandi wajib, dan buang air kecil atau besar.
Kedua: Tidak boleh kecuali jika bersyarat, yaitu saat melakukan keta’atan yang tidak wajib atasnya, seperti menjenguk orang sakit, takziyah, dan semisalnya. Tetapi jika dia mensyaratkan di awal I’tikaf-nya, maka boleh keluar untuknya, dan jika tidak mensyaratkan maka tidak boleh keluar.
Ketiga: Haram bahkan membatalkan I’tikaf, jika untuk sesuatu yang menafikan makna I’tikaf, seperti keluar untuk jual beli, mengumpuli istrinya, dan semisal keduanya, ini tidak boleh dilakukan, baik dengan syarat atau tidak dengan syarat.
6. Apakah Disyari’atkan I’tikaf di Selain Bulan Ramadhan?
Dalam hal ini Ibnu Utsaimin f menjawab, “I’tikaf itu disyari’atkan di (10 akhir) bulan Ramadhan, karena Nabi k tidak pernah I’tikaf di selain (10 akhir) bulan Ramadhan, kecuali:
- Beliau pernah ber-I’tikaf di bulan Syawwal karena mengganti I’tikafnya di bulan Ramadhan yang terlewatkan. Oleh karena itu, andai saja seseorang ber-I’tikaf di selain Ramadhan, maka hal itu boleh-boleh saja.
- Umar bin Khaththab f pernah bertanya kepada Nabi k, tentang nazar nya ber-I’tikaf satu malam atau satu hari di Masjidil Haram, maka Rasulullah k bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.”
Akan tetapi seseorang tidak diperintahkan, dan tidak dituntut untuk ber-I’tikaf di selain (10 akhir) bulan Ramadhan. ((lihat Asy-Syarh Al-Mumthi’ / kitab Ash-Shiyam)
7. Yang Disunnahkan dan yang Dimakruhkan bagi Para Mu’takif
Disunnahkan bagi orang yang ber-I’tikaf untuk menyibukkan diri dengan segala bentuk keta’atan kepada Allah, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, beristighfar, membaca shalawat atas Rasulullah, berdo’a, menuntut ilmu, dan yang lainnya.
Dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfa’at, baik itu berupa perbuatan atau perkataan, begitu juga menahan diri untuk tidak berbicara dengan anggapan hal tersebut termasuk bentuk pendekatan diri kepada Allah (termasuk makruh. ( dinukil secara bebas dari Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, kitab Ash-Shiyam, Abdul Adzi Al-Badawi)
8. Mu’takif Boleh Bercengkrama Seperlunya dengan Istrinya
Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikaf-nya, berdasarkan ucapan Shafiyah g: “Ketika itu Nabi k ber-I’tikaf di masjid pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau k berkata: ‘Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan’. Maka beliau pun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah g tinggal di kampung Usamah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah g, lewat dua orang Sahabat Anshar, ketika mereka melihat Nabi k maka keduanya mempercepat (langkahnya), maka Nabi k berkata: ‘Pelan-pelan! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai’ (istri Rasulullah sendiri). Lalu keduanya mengatakan: ‘Subhanallah! Wahai Rasulullah’. Maka Nabi k mengatakan: ‘Sesungguhnya syetan mengalir pada seseorang seperti mengalirnya darah, dan sungguh aku khawatir kalau syetan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu’” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
SELESAI