Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Persahabatan yang shalih adalah persahabatan yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan persaudaraan yang tegak diatas dasar cinta kepada Allah serta saling menasehati dalam kebaikan dan taqwa adalah persaudaraan yang abadi.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman :
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa”. (QS Az Zukhruf : 67)
Dan karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memilih teman bergaul dan mengambil manfaat dari persahabatan yang shalin.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
«الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»
“Seseorang selalu mengikuti agama teman akrabnya. Maka hendaklah Seseorang memperhatikan siapakah yang dijadikan teman akrab.” (HR Tirmidzi : 2379)
Dari Abu Sa’id Al-Hudri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
لا تُصَاحِبْ إلا مُؤْمِناً، ولا يأكُلْ طَعَامَكَ إلا تَقيٌّ
Janganlah bersahabat kecuali dengan orang beriman, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (HR Tirmidzi : 2397)
Penuntut ilmu lebih membutuhkan dari yang lainnya untuk memilih sahabat yang shalih, yang bisa menggandeng tangannya untuk tetap sabar dalam menuntut ilmu, mengingatkannya bila ia lupa, menasehatinya Ketika ia keliru, dan mengarahkannya saat ia menyimpang. Seorang muslim adalah cermin bagi saudaranya.
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata :
يَنْبَغِيْ لِطَالِبِ الْعِلْمِ أَنْ لَا يُخَالِطَ إِلَّا مَنْ يُفِيْدُهُ أَوْ يَسْتَفِيْدُ مِنْهُ. فَإِنْ تَعَرَّضَ لِصُحْبَةٍ مَنْ يَضِيْعُ عُمْرُهُ مَعَهُ وَلَا يُفِيْدُهُ وَلَا يَسْتَفِيْدُ مِنْهُ وَلَا يُعِيْنُهُ عَلَى مَا هُوَ بِصَدَدِهِ فَلْيَتَلَطَّفْ فِيْ قَطْعِ عَشْرَتِهِ مِنْ أَوَّلِ الْأَمْرِ قَبْلَ تَمَكَّنُهَا
“Selayaknya para penuntut ilmu tidak berteman akrab kecuali dengan orang yang memberinya manfaat atau mengambil darinya manfaat. Jika ia sengaja bergaul dengan orang yang akan menyia-nyiakan waktu hidupnya, tidak memberinya manfaat atau tidak mengambil darinya manfaat, dan tidak membantunya untuk mendapatkan apa yang dicarinya, maka hendaklah ia dengan lemah lembut memutuskan pergaulannya sejak awal sebelum terlalu akrab.
فَإِنَّ الْأُمُوْرَ إِذَا تَمَكَنَتْ عَسُرَتْ إِزَالَتُهَا، فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى أَنْ يُصَحِبَهُ فَلْيَكُنْ صَاحِبًا صَالِحًا دِيْنًا تَقِيًا وَرَعًا ذَكِيًا كَثِيْرَ الْخَيْرِ قَلِيْلَ الشَّرِّ حَسَنَ الْمُدَارَاةِ قَلِيْلَ الْمُمَارَاةِ إِنْ نَسِيَ ذَكَرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِنِ احْتَاجَ وَاَسَاهُ وَإِنْ ضَجَّرَ صَبَّرَهُ.
Karena urusan apapun kalau sudah melekat sulit melepaskannya. Jika ia membutuhkan teman, maka hendaklah yang shalih, taat beragama, bertaqwa, wara’, cerdas, banyak kebaikannya dan sedikit keburukannya, baik dalam berdiskusi dan sedikit berdebat. Ketika lupa ia mengingatkan ketika ingat ia membantunya, ketika butuh ia menyantuninya, dan ketika mengeluh ia menyabarkannya”. (Tadzkiratus Saami’I wal Mutakallim, Ibnu Jama’ah , 212)