Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Adapun orang yang dalam keadaan junub, tidak dibolehkan membaca Al Qur’an bagaimanapun kondisinya. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu , “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu membacakan Al Qur’an kepada kami selama tidak dalam keadaan junub.”
وَأَمَّا الْحَدَثُ الْأَصْغَرُ فَإِنَّهُ يَجُوْزُ مَعَهُ قِرَاءَةُ القُرآنِ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، وِيَسْتَدِلُّ لِذَلِكَ بِحَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِيْ حَدِيْثِ مَبِيْتِهِ عِنْدَ خَالَتِهِ مَيْمُوْنَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ اللَّيْلُ، أَوْ قَبْلَهُ بِقَلِيلٍ أَوْ بَعْدَهُ بِقَلِيلٍ،
Adapun dengan hadats kecil, seseorang boleh membaca Al Qur’an dari hafalannya (tanpa memegang mushaf). Hal itu ditunjukkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika dia menginap di rumah bibinya Maimunah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ibnu Abbas mengatakan, “Ketika pertengahan malam tiba,
اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَرَأَ العَشْرَ الآيَاتِ الخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ، فَتَوَضَّأَ مِنْهَا فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي ([ . رواه البخاري(183) ومسلم (673).]) .
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun, beliau duduk mengusap kantuk dari wajahnya dengan tangannya. Kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari Surat Ali Imran. Kemudian beliau mengambil tempat air yang digantung lalu beliau wudhu dan menyempurnakan wudhunya lalu beliau shalat
فَقِرَاءَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ للقرآنِ بَعْدَ نَوْمِهِ وَقَبْلَ وُضُوْءِهِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ لِمَنْ أَحْدَثَ بِبَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ أَوْ نَوْمٍ، وَالْأَكْمَلُ وَاْلأَفْضَلُ هُوَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ عَلَى حَالِ طُهْرٍ.
Bacaan Al Qur’an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah tidur dan sebelum berwudhu, menunjukkan bolehnya membaca Al Qur’an bagi orang yang berhadats kecil karena kencing, buang air besar, atau tidur. Tetapi yang lebih sempurna dan lebih utama adalah membaca Al Qur’an dalam keadaan suci.
وَلَا لَوْمَ وَلَا نَكِيرَ عَلَى مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَهُوَ بِهَذِهِ الْحَالَةِ، بَلِ اللَّوْمُ عَلَى الْمُنْكِرِ أَوْلَى وَأَحْرَى لِوُرُوْدِ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ بِذَلِكَ.
Maka tidak boleh di cela dan diingkari bila ada orang yang membaca Al-Quran dalam keadaan berhadats kecil. Bahkan mencela yang mengingkari itu lebih utama karena adanya sunnah yang shahih yang menjelaskan itu semua. (bolehnya yang berhadats kecil membaca al Quran, pent)
جَاءَ فِيْ مُوَطَّأِ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، كَانَ فِي قَوْمٍ وَهُمْ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ. فَذَهَبَ لِحَاجَتِهِ،
Dalam Muwaththa’ Imam Malik disebutkan, bahwasanya Umar bin Khaththab pernah berada pada sekelompok orang dan mereka tengah membaca Al-Quran. Kemudian Umar pergi ke kamar mandi untuk menunaikan hajatnya,
ثُمَّ رَجَعَ وَهُوَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ. أَتَقْرَأُ وَلَسْتَ عَلَى وُضُوءٍ؟ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: مَنْ أَفْتَاكَ بِهذَا؟ أَمُسَيْلِمَةُ؟ ([ . الموطأ (469)]) .
lalu ia kembali sambil menghafal Al-Qur’ an. Ada seorang laki-laki yang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau membaca Al-Quran sedangkan engkau belum berwudhu? Umar menjawab, Siapakah yang memfatwakan kamu dengan ini? Apakah Musailamah (Al-Kadzdzab si nabi Palsu?, pent)
مَسْأَلَةٌ : هَلْ يَجُوْزُ لِلْمُحْدِثِ حَدَثًا أَصْغَرَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ ؟ الْجَوَابُ : قَالَتِ اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ فِيْ إِحْدَى أَجْوِبَتِهَا : لَا يَجُوْزُ لِلْجُنُبِ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى يَغْتَسِلَ،
Soal : Apakah seorang yang berhadats kecil boleh membaca Al-Qur an dari mushaf?
Jawab : Lajnah Daimah berkata, “Bagi orang yang junub (berhadats besar) tidak boleh membaca Al Qur’an hingga dia mandi terlebih dahulu,
سَوَاءٌ قَرَأَهُ مِنَ الْمُصْحَفِ أَوْ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَقْرَأَهُ مِنَ الْمُصْحَفِ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ كَامِلَةٍ مِنَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ وَالْأَصْغَرِ. ([ . (5/328) فتوى رقم (8859)]) .
Sama saja apakah dia membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf atau tidak. Dan dia tidak boleh membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf kecuali dalam keadaan suci yang sempurna dari hadats besar dan hadats kecil.”
مَسْأَلَةٌ (2) : أَيُّهُمَا أَفْضَلُ لِلْقَارِيْءِ أَنْ يَقْرَأَ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ أَوْ مِنَ الْمُصْحَفِ ؟
Soal : Manakah yang lebih baik, membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf atau melalui hafalan (tanpa melihat mushaf)?
الجَوَابُ : خِلَافٌ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِيْ ذَلِكَ، فَفَضَّلَ بَعْضُهُمُ القِرَاءَةَ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ عَلَى الْقِرَاءَةِ مِنَ الْمُصْحَفِ،
Jawab : Pada masalah ini di antara ulama ada perbedaan pandangan. Sebagian mereka berpendapat lebih baik membaca Al Qur’an dengan hafalan (tanpa melihat mushaf).
وَمَنَعَ ذَلِكَ آخَرُوْنَ وَهُمُ الْأَكْثَرُوْنَ وقالوا: إن القراءة من المصحف أفضل، لأن فيه نظرٌ للقرآن .وفي النظر للقرآن آثَارٌ لَمْ تَثْبُتْ.
Sebagian ulama lain mencegah hal itu. Mayoritas para ulama berkata, “Sesungguhnya membaca lewat mushaf itu lebih baik. Karena dia memandang Al Qur’an. Dan tentang (keutamaan) memandang Al Qur’an ada bebarapa atsar yang tidak benar.”
وَفَصَّلَ آخَرُوْنَ فِيْ ذَلِكَ؛ قَالَ ابْنُ كَثِيْرٌ : وَقَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: الْمَدَارُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ عَلَى الْخُشُوعِ فِي الْقِرَاءَةِ، فَإِنْ كَانَ الْخُشُوعُ عِنْدَ الْقِرَاءَةِ عَلَى ظَهْرِ الْقَلْبِ فَهُوَ أَفْضَلُ،
Sebagian ulama merinci masalah ini, Ibnu Katsir berkata, “Sebagian ulama mengatakan, “Pangkal dari masalah ini adalah kekhusyukan. Jika seseorang lebih khusyuk ketika membaca Al Qur’an melalui hafalan, maka itu lebih baik.
وَإِنْ كَانَ عِنْدَ النَّظَرِ فِي الْمُصْحَفِ فَهُوَ أَفْضَلُ فَإِنِ اسْتَوَيَا فَالْقِرَاءَةُ نَظَرًا أَوْلَى؛ لِأَنَّهَا أَثْبَتُ وَتَمْتَازُ بِالنَّظَرِ فِي الْمُصْحَفِ
Jika lebih khusyuk dengan melihat mushaf, maka membaca Al Qur’ an dengan melihat mushaf itu lebih baik, jika keduanya sama-sama khusyuk, maka membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf itu lebih baik, karena itu lebih terjaga, dan itu memiliki keistimewaan karena melihat mushaf Al Qur’an.”
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو زَكَرِيَّا النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ، فِي التِّبْيَانِ : وَالظَّاهِرُ أَنَّ كَلَامَ السَّلَفِ وَفِعْلَهُمْ مَحْمُولٌ عَلَى هَذَا التَّفْصِيْلِ ([ . فضائل القرآن ص212 . تحقيق أبو اسحاق الحويني . ط .مكتبة ابن تيمية.]) .
Syaikh Abu Zakaria An-Nawawi mengatakan di dalam At-Tibyan, “Yang nampak adalah bahwasanya pendapat ulama salaf dan amalan mereka itu dikaitkan dengan perincian ini.””
قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ وَيَنْبَغِي لِمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مُصْحَفٌ أَنْ يَقْرَأَ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ آيَاتٍ يَسِيرَةً لِئَلَّا يَكُونَ مَهْجُورًا ([ .الآداب الشرعية لابن مفلح (2/285) ط.مؤسسة الرسالة .]).
Ibnul Jauzi berkata, “Sebaiknya bagi orang yang memiliki mushaf, dia membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf, beberapa ayat setiap harinya, hingga Al Qur’an tidak ditinggalkannya.”