ADAB BUANG HAJAT – LARANGAN MENGGUNAKAN TANGAN KANAN KETIKA BUANG HAJAT

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

اعْلَمْ أَنَّ مَنْ تَأَمَّلَ نُصُوْصَ الشَّرْعِ، فَإِنَّهُ يَجِدُ أَنَّهَا جَاءَتْ بِتَكْرِيْمِ الْيَدِّ الْيُمْنَى وَالرِّجْلِ الْيُمْنَى عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى وَاْليَدِّ الْيُسْرَى،

Ketahuilah bahwasanya orang yang memperhatikan nash-nash syari’at dia akan menemukan bahwa Islam memuliakan tangan kanan dan kaki kanan daripada tangan kiri dan kaki kiri.

وَأَرْشَدَتِ الْعِبَادَ إِلَى أَنْ يَسْتَخْدِمُوْا أَيْمَانَهُمْ فِيْ فِعْلِ الْأُمُوْرِ الْكَرِيْمَةِ، وَشَمَائِلَهُمْ عَلَى الضِّدِّ مِنْ ذَلِكَ.

Dan syari’at memberikan tuntunan kepada kita untuk menggunakan tangan kanan pada setiap aktivitas yang mulia. Dan kiri pada aktivitas yang sebaliknya.

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَسِّ الذَّكَرِ وَالْاِسْتِنْجَاءِ بِالْيَدِّ الْيُمْنَى .

Dan termasuk dalam hal ini adalah larangan Rasulullah untuk menyentuh kemaluan dan istinja’ dengan tangan kanan.

قَالَ ابْنُ الْجَوْزِي : وَإِنَّمَا وَقَعَ النَّهْيُ عَنْ مَسِّ الذَّكَرِ وَالْاِسْتِنْجَاءِ بِالْيَمِيْنِ لِمَعْنَيَيْنِ :

Ibnul Jauzi berkata, “Sesungguhnya arah larangan menyentuh kemaluan dan istinja’ dengan tangan kanan karena dua alasan:

أَحَدُهُمَا : لِرَفْعِ قَدْرِ الْيَمِيْنِ عَنِ الْاِسْتِعْمَالِ فِيْ خَسَاسِ الْأَحْوَالِ وَلِهَذَا تُجْعَلُ فِيْ آخِرِ دُخُوْلِ الْخَلاَءِ وَأَوَّلِ دُخُوْلِ الْمَسْجِدِ،

Pertama, untuk mengangkat derajat tangan kanan dari aktivitas yang kotor. Dan karenanya ia yang didahulukan ketika keluar WC masuk masjid,

وَتُجْعَلُ الْيَمِيْنُ لِلْأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالتَّنَاوُلِ، وَتَمْتهن الْيُسْرَى فِي الْأَقْذَارِ.

makan dan minum, dan mengambil sesuatu. Dan menggunakan tangan kiri untuk membersihkan kotoran.

وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَوْ بَاشَرَتِ الْيُمْنَى النَّجَاسَةَ لَكَانَ الْإِنْسَانُ يَتَذَكَّرُ عِنْدَ تَنَاوُلِ طَعَامِهِ بِيَمِيْنِهِ مَا بَاشَرَتْ وَمَسَّتْ،

Kedua, bahwasanya jika tangan kanan ini langsung bersentuhan dengan najis, niscaya seseorang akan teringat ketika dia makan dengan tangan kanannya apa yang telah disentuh tangan kanannya.

فَيَنْفِرُ بِالطَّبْعِ وَيَسْتَوْحِشُ، وَيُخَيِّلُ إِلَيْهِ بَقَاءَ ذَلِكَ الْأَثَرُ فِيْهَا، فَنَزَهَتْ عَنْ هَذَا لِيُطَيِّبَ عَيْشَهُ فِيْ التَّنَاوُلِ ([ . مشكل الصحيحين (2/138) رقم (604)]) .

Hingga hal itu akan menghilangkan nafsu makannya, apalagi jika mengkhayalkan bahwa sisa-sisa najis masih ada di tangan kanannya. Maka, hal itu dibersihkan dan dihilangkan agar kehidupan seseorang menjadi baik.

رَوَى أَبُوْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلَا يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ، وَلَا يَتَنَفَّس فِي الْإِنَاءِ»

Abu Qatadah meriwayatkan, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian kencing, janganlah memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, jangan pula istinja’ dengan tangan kanannya, dan jangan bernafas di dalam bejana (ketika minum). ”

وَعِنْدَ مُسْلِمٍ وَغَيْرِهِ : «لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ، وَلَا يَتَمَسَّحْ مِنَ الْخَلَاءِ بِيَمِينِهِ، وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ» ([ . رواه البخاري(153)، ومسلم(267)، وأحمد(18927)، والترمذي(15)، والنسائي(24)، وأبو داود(31)، وابن ماجه(310)، والدارمي(673)]) .

Dan menurut riwayat Muslim dan ahli hadits lainnya: “janganlah sekali-kali seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika kencing, dan jangan pula istinja’ dengan tangan kanan dan janganlah cebok dengan tangan kanan dan jangan bernafas didalam gelas ….”

قَالَ النَّوَوِيُّ : وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْيَمِينِ ثُمَّ الْجَمَاهِيرُ عَلَى أَنَّهُ نَهْيُ تَنْزِيهٍ وَأَدَبٍ لَا نَهْيَ تَحْرِيمٍ ([ . شرح مسلم . المجلد الثاني (3/127)]) .

Imam An-Nawawi berkata, “Para ulama bersepakat bahwasanya tidak boleh istinja dengan tangan kanan. Kemudian mayoritas mereka berpendapat bahwa itu adalah larangan yang perlu dijauhi dan merupakan adab bukan larangan pengharaman.

مَسْأَلَةٌ : لَمْ يَرِدْ فِيْ الْأَحَادِيْثِ النَّهْيُ عَنْ مَسِّ الدُّبُرِ بِالْيَمِيْنِ عِنْدَ التَّغَوُّطِ ؟

Pertanyaan : Pada hadits-hadits ini tidak ada larangan menyentuh dubur (kemaluan belakang) dengan tangan kanan ketika buang air besar?

وَالْجَوَابُ : النَّهْيُ عَنْ مَسِّ الدُّبُرِ عِنْدَ التَّغَوُّطِ أَوْلَى مِنَ النَّهْيِ عَنِ مَسِّ الذَّكَرِ عِنْدَ التَّبَوُّلِ. فَهُوَ قِيَاسُ الْأَوْلَى،

Jawaban : Larangan menyentuh dubur ketika buang air besar lebih diutamakan ketimbang larangan menyentuh kemaluan ketika kencing. Ini adalah Qiyas aula,

وَلَعَلَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبَّهَ بِالْأَخَفِّ اكْتِفَاءً بِهِ لِلدَّلَالَةِ عَلَى الْأَشَدِّ، لَا سِيَمَا وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «كَانَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا» ([ . رواه البخاري(3562)، ومسلم(2320)، وأحمد(11286)، وابن ماجه(4180)]) .

Dan boleh jadi Nabi memberi peringatan kepada yang lebih ringan dan mencukupkannya untuk menunjukkan yang lebih dari itu. Apalagi Nabi sangat pemalu melebihi daripada wanita yang sedang dipingit.

وَلَا يَرِدْ عَلَيْنَا أَنَّ الْحَيَاءَ يَمْنَعُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَبْلِيْغِ الدِّيْنِ لِأَنَّ الْبَلَاغَ حَصَلَ بِذِكْرِ الْأَخَفِّ تَنْبِيْهاً عَلَى الْأَشَدِّ، وَاللهُ أَعْلَمُ.

Dan bukan berarti karena malu membuatnya tidak menyampaikan agama dengan seharusnya, karena menyampaikan agama dapat dilakukan dengan menyebut yang lebih ringan untuk memberikan peringatan akan hal yang lebih besar. Wallahu a’lam.

مَسْأَلَةٌ أخرى : قَالَ طَلْقُ بْنُ حَبِيْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَدِمْنَا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ، فَقَالَ :

Permasalahan lainnya : Thalq bin Habib berkata, “Kami mendatangi Nabi lalu seorang Arab badui datang dan berkata,

يَا نَبِيَّ اللَّهِ، مَا تَرَى فِي مَسِّ الرَّجُلِ ذَكَرَهُ بَعْدَ مَا يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ: «هَلْ هُوَ إِلَّا مُضْغَةٌ مِنْهُ»، أَوْ قَالَ: «بَضْعَةٌ مِنْهُ» ([ . رواه أبو داود (182) قال ابن حجر: والحديث صحيح أو حسن (فتح الباري 1/306) وصححه الألباني، أحمد(15857)، والترمذي (85)، وابن ماجه (483). ]) .

Wahai Nabi Allah, bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki yang memegang kemaluannya setelah dia berwudhu? Rasulullah menjawab, “Bukankah kemaluan hanya segumpal daging darinya (anggota tubuhnya)? atau beliau menjawab, ‘bagian itu darinya (anggota tubuhnya).”

وَالسُّؤَالُ هُنَا : إِنَّ ظَاهِرَ حَدِيْثِ طَلْقٍ يَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ مَسِّ الذَّكَرِ فِيْ جَمِيْعِ الْأَحْوَلِ فَمَا الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ حَدِيْثِ أَبِيْ قَتَادَةَ ؟

Pertanyaan : Dzahir hadits Thalq menunjukkan bolehnya memegang kemaluan pada kondisi apa pun. Apa langkah untuk menyatukan hadits ini dan hadits Abu Qotadah (siapa yang menyentuh kemaluannya wajib berwudhu)?”

الْجَوَابُ : أَنَّهُ لَا تَعَارَضُ بَيْنَهُمَا فَحَدِيْثُ طَلْقٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مُطْلَقٌ، وَحَدِيْثُ أَبِيْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مُقَيَّدٌ فِيْ حَالِ الْبَوْلِ.

Jawaban : Bahwasanya diantara kedua hadits tidak ada kontradiksi dimana hadits Thalq bentuknya mutlak (semua kondisi) adapun hadits Abu Qotadah dikhususkan dalam keadaan kencing saja.

قَالَ ابْنُ أَبِيْ جَمْرَةَ : قَوْلُهُ : إِنَّمَا هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ فَدَلَّ عَلَى الْجَوَازِ فِيْ كُلِّ حَالٍ، فَخَرَجَتْ حَالَةُ الْبَوْلِ بِهَذَا الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَبَقِيَ مَا عَدَاهَا عَلَى الْإِبَاحَةِ ([ . فتح الباري (1/306)]) .

Ibnu Abi Jamrah berkata, perkataan : Ia hanyalah bagian dari anggota tubuhmu menunjukan bolehnya menyentuh kemaluan disemua keadaan lalu dikecualikan ketika kencing berdasarkan hadits yang shahih ini, dan hukum asal selain kencing tetap pada kebolehannya.

قَالَ اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ : الرَّاجِحِ مِنْ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ فِيْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ قَوْلُ الْجُمْهُوْرِ، وَهُوَ نَقْضُ وُضُوْءِ مَنْ مَسَّ ذَكرَهُ لِأَنَّ حَدِيْثَ : مَا هُوَ إِلَّا بِضْعَةٌ مِنْكَ ضَعِيْفٌ

Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daimah berkata, “Pendapat yang kuat dari pendapat para ulama tentang masalah ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu orang yang menyentuh kemaluannya wudhunya batal karena hadits bukankah kemaluan itu hanya bagian dari kamu adalah hadits dha’if,

لَا يُقَوَّى عَلَى مُعَارِضَةِ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ الدَّالَةِ عَلَى أَنْ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ.

tidak kuat untuk menandingi hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwasanya orang yang menyentuh kemaluannya wajib berwudhu.

وَالْأَصْلُ أَنَّ الْأَمْرَ لِلْوُجُوْبِ وَعَلَى تَقْدِيْرِ عَدَمُ ضَعْفِهِ فَهُوَ مَنْسُوْخٌ بِحَدِيْثِ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ. ([ فتاوى اللجنة الدائمة 7/250 رقم 6990])

Dan kaidah bahwasanya hukum asal perintah berarti wajib. Dan bila kita anggap bahwa hadits itu shahih, maka hadits itu dinasakh dengan hadits, “Siapa yang menyentuh kemaluannya, dia wajib berwudhu.”

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *