Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Boleh bagi suami-istri untuk bercumbu dan berciuman asalkan mampu menahan dari keluarnya air mani atau terjerumus kepada perbuatan yang haram yaitu jima’ di siang hari puasa Ramadhan.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, pernah berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah Rasulullah pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri”. (HR Bukhari: 1927, Muslim: 1106)
Bercumbu dan mencium istri ini dibolehkan apabila dipastikan mampu menahan syahwatnya sehingga tidak terjerumus pada perkara yang dilarang yaitu jima’. Maka hal itu dimakruhkan bagi yang masih berusia muda dengan syahwat yang bergejolak. Adapun orang yang sudah tua dan berkurang syahwatnya maka dibolehkan secara mutlak.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami pernah berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’. Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?’. Beliau menjawab, ‘Ya’. Sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah bersabda:
إِنَّ الشَّيْخَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ
‘Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya’”. (HR Ahmad: 2/185, 22: 6739)
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafizhahullah mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Yazid bin Abu Hubaib dari Qushair At-Tujaibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi’ah, tetapi punya syahid (pendukung) pada riwayat Thabrani dalam Al-Kabir no: 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas. Habib seorang mudallis dan telah ‘an-‘anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih, hal. 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain”.(Shifatus Shiyami Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hal. 54-55)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata : Ciuman terbagi kepada menjadi tiga macam :
Pertama : Ciuman yang tidak diiringi syahwat. Seperti ciuman seorang bapak kepada anak-anaknya yang masih kecil. Maka hal ini boleh, tidak ada pengaruh dan hukumnya bagi orang yang berpuasa.
Kedua : Ciuman yang dapat membangkitkan syahwat tetapi dirinya merasa aman dari keluarnya air mani, maka hal ini hukumnya di dalam madzahab Hanbali dibenci, akan tetapi yang benar adalah boleh.
Ketiga : Ciuman yang dikhawatirkan keluarnya air mani, maka jenis ciuman ini tidak boleh. Haram dilakukan jika dugaan kuatnya mengatakan bahwa kalau ciuman nanti akan keluar air mani. Seperti seorang pemuda yang kuat syahwatnya dan sangat cinta pada isterinya. (As-Syarhul Mumti’, Syaikh Al-Utsaimin: 6/427. Lihat juga Majalisu Syahri Ramadhan, Ibnu ‘Utsaimin: hal. 160)