Oleh : Syafiq Riza Basalamah
Merasa telah memiliki semua perangkat kebaikan adalah hal yang paling dihindari generasi terbaik sejak dulu sampai sekarang. Sebagaimana disebutkan oleh Allah azza wajalla :
لَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِلۡمُؤۡمِنِينَ
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara orang-orang kafir itu dan janganah kamu bersedih hati kepada mereka dan rendah dirilah kamu terhadap orang-orang beriman.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’diy rahimahullahu mengatakan :
ألن لهم جانبك، وحسِّن لهم خلقك، محبة وإكراما وتودُّدا
“Berperangai lembutlah kepada mereka, perbaikilah akhlakmu dengan mereka, dengan penuh rasa cinta, memuliakan, dan cintailah mereka.”
Tidak selayaknya seorang yang beriman merasa lebih unggul dari orang-orang sekitarnya. Perasaan yang seperti ini hanya akan memunculkan keangkuhan karena memandang yang lain hina. Tidakkah kita ingat kisah Imam Ahmad rahimahullahu ketika ditanya tentang masalah wara’, beliau berkomentar:
أستغفر الله لا يحل لي أن أتكلم في الورع، أنا آكل من بغداد، لو كان بشر بن الحارث لصلح أن يجيبك عنه، فإنه لا يأكل من غلة بغداد ولا من طعام السواد يصلح يتكلم في الورع.
“Aku memohon ampunan kepada Allah. Tidak sepatutnya aku berbicara tentang sikap wara’ sementara aku masih memakan hasil bumi Baghdad. Jika ingin tahu tentang hal ini, sejatinya Bisyr bin al Harits adalah orang yang layak berbicara tentangnya. Ia tidak menikmati hasil bumi Baghdad dan tidak pula makanan yang tidak jelas asal-usulnya.”
Jikalau seorang Imam Ahmad, yang dinobatkan sebagai pembesar sekaligus tokoh yang disegani dalam dunia Islam, dengan segudang perannya dalam kebaikan, semoga Allah membalas kebaikan beliau, tidak lantas merasa lebih baik dari yang semasa dengan beliau. Maka siapa kita dan apa peran kita terhadap Islam sehingga layak merasa lebih baik dari yang lain?