Oleh : Abu Ghozie As Sundawie
Diantara kesalahan kaum muslimin dalam berhari raya Iedul Fithri, yaitu :
1.Mengartikan Iedul Fithri dengan KEMBALI SUCI
Makna ‘Ied secara bahasa artinya setiap hari yang didalamnya ada perkumpulan. Diambil dari kata “ ‘Aada – Ya’udu “ (عاد-يعود) yang artinya kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya. Adapula yang berpendapat bahwa “Ied” diambil dari kata “Al ‘Aadah” yang artinya “kebiasaan”, karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah “Al A’yaad”.
Al Azhari –rahaimahullah- berkata, “Menurut masyarakat Arab, kata “Al ‘Ied” berarti waktu kembalinya KEGEMBIRAAN atau KESEDIHAN” (Lisanul ‘Arob 3/313, 317).
Ibnul A’rabi mengatakan, “Hari raya di namakan ‘ied karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata, “Orang orang menyebutkan bahwa disebut ‘Ied karena karena senantiasa kembali dan berulang.”
(Syarah Muslim 6/421)
Adapun makna Fithri artinya BERBUKA setelah satu bulan lamanya berpuasa. Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru yang artinya BERBUKA atau tidak lagi berpuasa.
Disebut Iedul Fithri, karena hari raya ini di meriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa Ramadhan
2. Meyakini adanya hari raya atau peringatan-peringatan lain, seperti :
- Peringatan tahun baru
- Maulid Nabi
- Isra Mi’raj
- Nuzulul Qur’an, dll
Padahal dalam Islam tidak ada hari raya yang di peringati secara rutin selain hari raya yang tiga, yaitu :
- ‘IEDUL FITHRI
- ‘IEDUL ADHA
- HARI JUM’AT.
(HR Abu Dawud : 1134, dari Anas bin Malik)
3. Penetapan hari raya dengan CARA HISAB
(HR Bukhari : 1807, dan Muslim : 1080 dari Ibnu Umar) dan berhari raya tidak mengikuti KEPUTUSAN PEMERINTAH
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 224)
4. TIDAK MANDI saat hari raya, padahal hal itu termasuk sunnah yang tentu besar pahalanya
(HR Al Baihaqi, syaikh Al Albani menghukumi hasan dalam al Irwa’ 1/176)
5. TIDAK BERHIAS (bagi laki laki) dengan memakai PAKAIAN TERBAIK, walaupun tidak harus PAKAIAN BARU.
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata, “Nabi ﷺ memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adha. Beliau ﷺ memiliki hullah (baju) yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum’at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah.” (Kitab Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim 1/441)
6. TIDAK MAKAN KURMA di pagi hari sebelum berangkat menuju shalat ‘iedul Fithri. (HR Bukhari : 953 dari Anas).
Imam Tirmidzi -rahimahullah- mengatakan, “Para Ulama menyatakan sunnah agar tidak keluar menuju ke tempat shalat iedul fitri kecuali makan sesuatu dari makanan, dan dianjurkan agar makan kurma”.
7. BERANGKAT dan KEMBALI shalat ied dari SATU ARAH jalan, padahal yang sunnah adalah mengambil jalan yang berbeda. (HR Bukhari : 986, dari Jabir)
8. Berangkat ke tempat shalat ‘ied dengan naik KENDARAAN tanpa udzur, padahal yang utama adalah dengan BERJALAN KAKI. (HR Tirmidzi : 530, Ibnu Majah : 1296 dari Ali bin Abi Thalib)
9. MENINGGALAKAN Takbir dengan SUARA JAHAR pada malam ied. (QS Al Baqarah : 185)
Demikain juga saat menuju tempat shalat ‘Ied. (Silsilah Al Ahadits As Shahihah 1/120 no 170). Dengan demikian waktu Takbir Iedul Fitri adalah dari mulai TENGGELAM nya MATAHARI di akhir Ramadhan sampai pagi hari shalat ‘Iedul Fitri. Sebagaimana Rasulullah ﷺ beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga di tunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir. (HR Ibnu Abi Syaibah , lihat As Shiyamu Fil Islam, hal. 619)
Syaikh Al Albani –rahimahullah- berkata : “Dalam hadits ini ada dalil di syari’atkannya melakukan takbir secara jahr di jalanan menuju mushalla (tanah lapang) sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita.
10. Bertakbir secara BERJAMA’AH dengan satu suara.
Namun yang benar adalah bertakbir sendiri-sendiri yakni sama-sama bertakbir dengan MENJAHARKAN SUARA sebagai mana dilakukan oleh para Salaf. Namun mereka tidak seragam satu suara. Sebagaimana di sebutkan dalam riwayat Anas bin Malik rahimahullah, bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan.” (Musnad Imam As Syafi’i : 909).
Dan takbir berjamaah seperti ini menurut al Haaj adalah bid’ah. (Al madkhal 2/440)
Dari Nafi’ ia berkata, “Adalah Ibnu Umar berangkat pagi menuju tanah lapang untuk shalat Ied mengeraskan suara takbir sampai datang ke tempat shalat” (HR Baihaqi 3/279). Yang lebih buruk lagi adalah konvoi berkendara dengan istilah TAKBIR KELILING dengan pakai SOUND SISTEM atau BAWA BEDUK yang membuat berisik dan macet jalanan, sehingga mengganggu MASYARAKAT, maka dengan hal ini berlipat lah DOSA dan KESALAHAN
11. Mengkhususkan MALAM ‘IEDUL FITHRI dengan shalat, karena hadits yang berkaitan dengannya adalah hadits PALSU, seperti hadits, “Barang siapa yang menghidupkan malam iedul Fitri dan iedul adha maka hatinya tidak akan mati pada hari saat hati hati itu mati (hari kiamat)” . Maka hadits ini dinyatakan Maudhu’ (palsu) oleh Syaikh Al Albani –rahimahullah- (Al Kalimat An Naafi’ah, fi Fashl Khomsuuna Khotho-an Fi Sholatil ‘Idain, hal. 390-391)
12. Menambah lafadz-lafadz Takbir yang tidak ada dasarnya, seperti lafadz “Allahu Akbar Kabiro, walaahamdulillahi Katsiro, Wasubhanallahi Bukrotan Wa Ashiila …” dst . Tentang lafadz Takbir pada saat hari raya, Syaikh Ali Hasan al Halabi –hafidzahullah- berkata : “Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.
Seperti Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadz:
*أَللهُ أَكْبَر ، اَللهُ أَكْبَر ، لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ ، واَللهُ أكْبَر ، اَللهُ أَكْبَر ولِلهِ الْحَمْدُ*
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian.”
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadz:
اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ , وَلِلَّهِ الْحَمْدُ , اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
“Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita” (Kitab Ahkamul ‘Iedain Fis Sunnah Al Muthohharoh, Syaikh Ali Hasan al Halabi )
13. Melaksanakan shalat ‘Ied di MASJID tanpa ‘Udzur, dan yang benar adalah menunaikan shalat ‘Ied di LAPANGAN TERBUKA. (HR. Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa’i 3/187).
Dalam hadits disebutkan Bahwa Nabi ﷺ berangkat shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat menghadapnya (HR Bukhari : 494, dan Muslim : 501)
14. Melakukan shalat QABLIYYAH (sebelum sholat ied) atau BA’DIYYAH (setelah shalat ied), yang benar adalah tanpa shalat qabliyyah ataupun ba’diyyah, kecuali kalau shalat iednya di masjid (walaupun itu salah) maka tetap secara umum dianjurkan shalat tahiyyatul masjid sebelum duduk.
(HR Bukhari : 989, dan Muslim : 884)
Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata: “Nabi maupun sahabat-sahabat beliau tidak pernah mengerjakan shalat jika telah sampai di tempat shalat (‘Ied), baik sebelum shlat (‘Ied) maupun sesudahnya”. (Zadul Ma’ad 2/443)
15. Mengkhusukan waktu ZIARAH KUBUR pada saat ‘Iedul Fithri, yang benar bahwa tidak ada hari atau bulan tertentu untuk menetapkan ziarah kubur.
Syaikh Ali Mahfudz –rahimahullah- berkata, “Diantara bentuk kebid’ahan adalah menyibukan berziarah kepada para wali atau kubur setelah shalat ‘Ied sebelum mendatangi keluarganya. (Al Ibda’, hal. 263)
Syaikh al Albani –rahimahullah- juga mengatakan, “Diantara kebid’ahan adalah (mengkhususkan) ziarah Kubur pada saat hari raya” (Ahkamul Janaiz, hal. 258)
16. Berhura-hura dengan menyulut KEMBANG API atau PETASAN pada saat hari raya.
Karena hal ini selain bentuk PEMBOROSAN yang dilarang, juga bagian dari MENAKUT-NAKUTI kaum muslimin dengan suaranya yang bising, juga bentuk TASYABBUH (menyerupai) terhadap orang orang KAFIR yang menampakan kegembiraan dengan menyulut kembang api, serta bisa mendatangkan bahaya. (Al kalimat an Naafi’ah, hal. 409)
17. Wanita BERTABARRUJ yaitu berdandan dan bersolek pada hari raya agar dilihat oleh manusia, diantara bentuknya :
- Keluar rumah dengan memakai pakaian pendek yang nampak sebagian auratnya
- Keluar rumah dengan mengenakan CELANA PANJANG karena hal itu menampakan lekuk tubuhnya, walaupun pakai JILBAB
- Keluar rumah memakai JILBAB atau KERUDUNG ketat sehingga nampak lekukan tubuhnya
- Keluar memakai sepatu berhak tinggi sehingga terdengar SUARA nya, yang pada akhirnya membuat FITNAH
- Berdandan menor dan mempakkannya kepada lelaki yang bukan mahram. (Al kalimat an Naafi’ah, hal. 412)
18. Saling bersalaman atau berjabat tangan dengan yang bukan mahram.
Aisyah -radhiyallahu anha- berkata : “ Demi Allah, tidak pernah tangan Rasulullah rnenyentuh tangan wanita sama sekali dalam bai’at. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengambil bai’at (atas) mereka kecuali dengan perkataan” (HR Bukhari (no. 4609).
19. Boleh saling mengucapakan ucapan selamat dengan doa semoga amalan diterima dan yang semisal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di tanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab : Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied.
Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Artinya, “Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”
Dan Ahallallahu alaik dan yang sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya.
Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya.
(Majmu Al-Fatawa 24/253)
20. Hiburan HARI RAYA dengan alat alat musik atau nyanyian seperti KONSER DANGDUT dan yang semisalnya , kecuali hiburan dengan mendengarkan REBANA yang di tabuh oleh ANAK KECIL PEREMPUAN maka hal ini di bolehkan. (HR Bukhari : 907, dan Muslim : 829, lihat kitab Ahkamul ‘I dain fis Sunnah al Muthohharah).
Semoga bermanfaat.