BERNASAB DENGAN ORANG SHOLEH APAKAH BERMANFAAT ?

SEMATA MATA KEKERABATAN DENGAN ORANG SHALIH TIDAKLAH BERMANFA’AT KECUALI DIBANGUN DIATAS DASAR IMAN DAN SUNNAH

Ustadz Abu Ghozie As-Sundawie

Dalam sebuah kaedah dalam masalah aqidah disebutkan :

الْانْتِسَابُ إِلَى الصَّالِحِيْنَ لَا يَنْتَفِعُ بِهِ صَاحِبُهُ إِلَّا بِالتَّوْحِيْدِ وَالْإِيْمَانِ

Hubungan nasab dengan orang shalih tidaklah bermanfaat kecuali memiliki Tauhid dan Iman

Makna dari kaedah ini adalah bahwa siapapun yang punya hubungan dekat (kerabat) dengan orang shalih (seperti para nabi dan Rasul) baik kedekatan karena nasab atau karena pernikahan maka semata mata kedekatan tidaklah bermanfaat baik didunia ataupun di akhirat apabila tidak dibangun diatas dasar tauhid dan iman yang benar.

Allah Ta’ala berfirman :

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).” (QS At Tahrim : 10)

Dan Allah berfirman tentang ISTERI Nabi Luth sebagai orang yang dibinasakan oleh adzab Allah :

فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ

“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)”. (QS Al A’raf : 83)

Diantara dalil juga adalah firman Allah tentang Nabi Nuh dengan putranya yang tidak mau beriman sehingga putuslah hubungan nasab diantara mereka :

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS Huud : 42-43)

Allah Ta’ala berfirman :

وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS Huud : 45-46)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang kekufuran Azar ayah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam :

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya.Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS At Taubah : 114)

Tanpa terkecuali dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa hubungan nasab semata mata dengan beliau tidaklah bermanfaat kecuali adanya tauhid dan Iman.

مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (QS At Taubah : 113)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma terkait asbabun nuzul ayat diatas :

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لِأُمِّهِ، فَنَهَاهُ اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ

“sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hendak memohonkan ampun bagi ibundanya namun dilarang oleh Allah” (Tafsir Ibnu Katsir 4/224)

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي

”Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengizinkanku. Namun Ia mengizinkan aku untuk menziarahi kuburnya” (HR Muslim : 976, Abu Dawud : 3234 dan yang lainnya)

Dalil lainnya dari hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Dari Anas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut berpaling, maka beliau memanggilnya lalu bersabda : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. (HR. Muslim : 203, Abu Dawud : 4718, Ahmad : 13861, dan yang lainnya)

Imam An Nawai rahimahullah berkata :

فِيهِ أَنَّ مَنْ مَاتَ عَلَى الْكُفْرِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَلَا تَنْفَعُهُ قَرَابَةُ الْمُقَرَّبِينَ وَفِيهِ أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ

“Di dalam hadits tersebut (menunjukan) bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa fatrah (kekosongan wahyu) dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” Syarah Muslim karya Imam An Nawawi 3/79 (pembahasan dinukil dari kitab : Qawa’id fi Tauhid ar Rububiyyah wal Uluhiyyah wal Asmaai was Sifat, hal. 11). Wallahu a’lam. []

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *