?️ Ustadz Abu Ghozie As Sundawie Hafidzhahullahu Ta’ala
Pertanyaan :
Ustadz mau bertanya bagaimana hukumnya kalau mau melanjutkan kuliah ilmu dunia ke negeri Kafir. Dari Umu Shadri di Jakarta.
Jawaban :
Barokallahu fik Umu semoga senantiasa istiqamah diatas sunnah, terkait pertanyaan ada beberapa poin yang didalamnya ada perincian :
[1] Hukum asalnya bagi seorang Muslim tidak boleh tinggal di Negeri Kafir. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam :
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ
“Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di tengah tengah orang Musyrik” (HR Abu Dawud : 2645, Tirmidzi : 1604, Disahihkan oelh Al Albani dalam Irwaul Ghalil 5/29)
Demikian juga riwayat dari Jarir bin Abdullah ia berkata :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُبَايِعُ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، ابْسُطْ يَدَكَ حَتَّى أُبَايِعَكَ ، وَاشْتَرِطْ عَلَيَّ ، فَأَنْتَ أَعْلَمُ ، قَالَ : أُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ ، وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتُنَاصِحَ الْمُسْلِمِينَ ، وَتُفَارِقَ الْمُشْرِكِينَ
“Aku mendatangi Nabi shalallahu alaihi wasallam, lalu aku katakana, Wahai Rasulullah julurkan tangan mu hingga aku membai’atmu dan bersyaratlah kepada ku tentunya engkau lebih tahu’. Beliau bersabda, ‘Aku membai’atmu untuk beribadah kepada Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menasehati sesame muslim dan meninggalkan orang orang Musyrik” (HR Nassai : 4177, dishahihkan oleh Al Albani pada Silsilah As Shahihah 2/227).
[2] Negeri negeri kafir pada zaman sekarang khususnya adalah negeri yang banyak sekali didalamnya norma norma yang tidak sejalan dengan syari’at, sehingga dengan tinggalnya di Negeri tersebut sama saja dengan sengaja seseorang telah menjerumuskan dirinya terhadap fitnah.
[3] Larangan tinggal di negeri Kafir ini adalah larangan karena sebagai wasilah kepada kerusakan, fitnah, atau larangan ini sebagai larangan untuk mencegah kerusakan Maka berdasarkan kaedah bahwa perkara yang terlarang karena sebagai wasilah menjadi boleh ketika ada hajat.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam rahimahullah :
وَمَا كَانَ مَنْهِيًّا عَنْهُ لِسَدِّ الذَّرِيعَةِ لَا لِأَنَّهُ مَفْسَدَةٌ فِي نَفْسِهِ يُشْرَعُ إذَا كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ رَاجِحَةٌ
“Dan perkara yang dilarang itu dalam rangka menutup kerusakan bukan kerusakan pada dzatnya, maka hal itu di bolehkan apabila ada kemaslahatan yang jelas didalamnya” (Majmu’ Fatawa 23/214)
Contoh penerapan kaedah diatas adalah larangan melihat wanita yang bukan mahram , maka ini adalah larangan karena wasilah atau untuk menutup kerusakan, oleh karena itu di boleh kan ketika ada hajat seperti mau meminang misalnya.
[4] Atas dasar kaedah di atas maka tinggal di negeri Kafir atau safar ke negeri kafir karena hajat hukumnya boleh seperti untuk kuliah atau belajar atau tugas tertentu. Akan tetapi bolehnya ini bersyarat.
[5] Para Ulama memberikan syarat diantara ada dua syarat penting, yaitu :
Pertama : Diduga kuat bisa aman dari fitnah dengan sebab tinggal di negeri Kafir tersebut, misalnya kuatnya Imana dan Ilmu Syari’at serta mampu menampakan agamanya, jangan sampai mau shalat sulit, sehingga akhirnya meninggalkan shalat, atau pakai jilbab dilarang misalnya, maka dalam kondisi demikian tidak di bolehkan.
Kedua : Tinggalnya di negeri Kafir karena adanya hajat yang pasti, misalnya belajar ilmu yang khusus yang tidak di dapatkan di negeri Islam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
السفر إلى بلاد الكفار لا يجوز إلا بثلاثة شروط: الشرط الأول: أن يكون عند الإنسان علم يدفع به الشبهات. الشرط الثاني: أن يكون عنده دين يمنعه من الشهوات. الشرط الثالث: أن يكون محتاجا إلى ذلك. فإن لم تتم هذه الشروط، فإنه لا يجوز السفر إلى بلاد الكفار لما في ذلك من الفتنة أو خوف الفتنة، وفيه إضاعة المال؛ لأن الإنسان ينفق أموالا كثيرة في هذه الأسفار. أما إذا دعت الحاجة إلى ذلك لعلاج أو تلقي علم لا يوجد في بلده، وكان عنده علم ودين على ما وصفنا فهذا لا بأس به. وأما السفر للسياحة في بلاد الكفار، فهذا ليس بحاجة، وبإمكانه أن يذهب إلى بلاد إسلامية يحافظ أهلها على شعائر الإسلام، وبلادنا الآن -والحمد لله- أصبحت بلادا سياحية في بعض المناطق، فبإمكانه أن يذهب إليها، ويقضي زمن إجازته فيها.
Safar ke negeri Kafir tidak di perbolehkan kecuali kalau terpenuhi tiga syarat, pertama : Sesorang punya ilmu untuk menolak syubhat (kerancuan dalam agama), kedua : Hendaknya ia punya benteng Agama yang mampu mencegahnya dari syubhat (penyimpangan agama),
Ketiga : Hendaknya safar karena adanya hajat kebutuhan. Apabila tidak terpenuhi syarat diatas maka tidak boleh safar ke negeri Kafir karena yang demikain itu akan menimbulkan fitnah atau takut terkena fitnah, demikian juga ada bentuk menyia nyiakan harta, karena seseorang dengan (safarnya ke luar negeri ini) akan banyak mengeluarkan uang. Adapun apabila ada kebutuhan misalnya untuk berobat atau belajar ilmu yang tidak terdapat di negerinya , selama ia punya modal ilmu dan agama sebagaimana yang kita sebutkan maka tidak mengapa. Adapun safar untuk wisata ke negeri kafir maka hal in bukanlah termasuk hajat kebutuhan karena bisa saja ia pergi (tamasya) ke negeri islam yang menjaga penduduknya syiar syiar islam. Dan Negeri kita (Saudi Arabia) dewasa ini Alhamdulillah telah menjadi negeri wisata di beberapa propinsinya, maka bisa saja untuk bertamasya kesana, mengisi liburannya disana” (Majmu’ Fatawa wa Rosaail, syaikh Utsaimin 3/24)
Demikian yang bisa disampaiakn dari fatwa para ulama semoga bermanfaat. Wallahu waliyyut Taufiq.