FIQIH PUASA RAMADHAN (Bagian 5 – Pembatal Puasa)

Oleh : Abu Ibrohim Muhammad Ali dan Abu Ghozie As Sundawie

Secara umum, perkara yang membatalkan puasa ada dua bagian, yaitu:

Pertama: Perkara yang membatalkan puasa dan wajib atasnya qadha’ (mengganti di hari yang lain –ed), yaitu:

  1. Makan dan minum dengan sengaja

Makan dan minum dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Tetapi jika seorang makan dan  minum karena lupa maka tidaklah membatalkan puasanya.

Dalilnya Allah Z ber-Firman:

… وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ …

“… Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …”  (QS Al-Baqarah: 187)

Para Ulama telah sepakat bahwa makan minum membatalkan puasa. (Al-Mughni: 4/349)

Adapun makan minum yang tidak sengaja, maka tidak mengapa dan boleh meneruskan puasanya.

Dari Abu Hurairah  f, dari Nabi k yang bersabda:

 مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa yang sedang puasa lupa makan dan minum maka sempurnakanlah puasanya, karena sesungguhnya Allah yang telah memberinya makan dan minum”.(HR Bukhari: 1933, Muslim: 1155)

 

                             2. Muntah dengan sengaja

Diriwayatkan dari Abu Hurairah f, bahwa Nabi k bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ, وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa terdesak muntah (tanpa sengaja), maka tidak ada qadha’ (puasa) baginya, dan barangsiapa yang sengaja muntah, maka hendaklah ia  meng-qadha’ (puasanya)”. (HR. Tirmidzi: 720, Abu Dawud: 2380, dan Ibnu Majah: 1676. Hadits ini dihasankan Syaikh Al-Albani di Irwa’ul Ghalil: 930)

Ibnul Mundzir p berkata, “Para Ahli Ilmu sepakat bahwa orang yang muntah dengan sengaja maka batal puasanya”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar f berkata, “Adapun orang yang muntah, Jumhur membedakan antara orang yang muntah tanpa sengaja maka tidak batal puasanya, dengan orang yang muntah dengan sengaja maka batal puasa”. (Fathul Bari: 4/206)

Imam Al-Khathabi f berkata, “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini”. (Ma’alim As-Sunan: 3/261)

Ibnu Qudamah q mengatakan, “Tidak ada perbedaan baik muntahnya berupa makanan, sesuatu yang pahit, lendir, darah, atau selainnya, karena semua itu masuk dalam keumuman hadits”. (Al-Mughni: 4/369)

 

                          3. Haidh dan nifas

Haidh dan Nifas membatalkan puasa meskipun terjadi pada saat-saat terakhir menjelang tenggelamnya matahari, maka puasanya batal dan wajib di-qadha’ di hari yang lain. Ini adalah kesepakatan para Ulama.

Ibnu Abdil Barr p berkata, “Ini merupakan Ijma’ bahwa wanita haidh tidak puasa ketika masa haidh-nya, dia harus meng-qadha’ puasanya dan tidak mengganti shalatnya. Tidak ada perselisihan tentang hal itu, Alhamdulillah. Dan apa yang menjadi kesepakatan Ulama maka itu adalah pasti benar”. (At-Tamhid: 22/107)

  1. Mengeluarkan air mani dengan sengaja.

Hal ini berdasarkan Firman Allah  Z di dalam sebuah hadits Qudsi tentang kondisi orang yang berpuasa:

يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ.

“Ia meninggalkan syahwat dan makannya karena Aku.”  (HR. Bukhari: 1795 dan Muslim: 1151)

Akan tetapi bila keluar air mani bukan karena kesengajaan, seperti mimpi atau karena kedinginan dan lain hal yang bukan karena kehendaknya maka puasanya tidaklah batal, berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Dari Abu Dzar Al-Ghifari  p bahwasanya Rasulullah k bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memaafkanku dari umatku; kesalahan, lupa, dan yang dipaksa atasnya’”.(HR Ibnu Majah: 2043, Shahihul Jaami’ no: 1727.)

Jika seorang yang berpuasa lalu berniat membatalkan puasanya dan bertekad untuk berbuka, maka puasanya batal, walaupun ia tidak makan dan tidak minum. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan keumuman hadits ‘Umar bin Khaththab f bahwa Rasulullah k bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”. (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari: 1 dan Muslim: 1907)

  1. Murtad (keluar dari Islam)

Tidak ada perbedaan pendapat diantara Ulama dalam masalah ini. Hal ini berdasarkan Firman Allah  a:

… لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥

“… Jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang merugi”.  (QS. Az-Zumar: 65)

 

Kedua: Perkara yang membatalkan puasa dan diwajibkan meng-qadha’ sekaligus kaffarah.

Para Ulama telah sepakat bahwa Jima’ adalah salah satu pembatal puasa, disamping makan dan minum. Imam Ibnu Al-Mundzir p berkata, “Para Ulama tidak berselisih bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa ketika siang hari dari perkara Jima’, makan dan minum”. (Al-Ijma’ Ibnul Mundzir: hal. 59)

Adapun tentang kaffarah sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah  f, ia berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ : وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ : وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِيْ فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ : هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ : لَا قَالَ : فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ : لَا قَالَ : فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ : لَا, ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ. فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهَذَا، فَقَالَ : أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ : اِذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَك

“Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah k, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah celaka.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang mencelakakanmu?’ Ia menjawab, ‘Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?’. Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mampu puasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Lalu ia duduk, kemudian Nabi a memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda, ‘Bersedekahlah dengan ini.’ Ia berkata, ‘Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami.’ Maka tertawalah Nabi i sampai terlihat gigi taringnya, kemudian bersabda, ‘Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu’”. (HR. Bukhari: 1834 dan Muslim: 1111)

Kaffarah berbuka karena Jima’ di siang hari bulan Ramadhan adalah:

  1. Memerdekakan hamba sahaya.
  2. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut.
  3. Jika tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin, masing-masing orang miskin dengan setengah sho’

Wajibnya membayar kaffarah ini hanya berlaku bagi yang puasa Ramadhan saja, adapun puasa qadha’ Ramadhan tidak ada kaffarah. (Syarah Sunnah, Al-Baghawi: 6/248)

Selain membayar kaffarah mereka pun wajib meng-qadha’-nya menurut mayoritas para Ulama. (At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr: 7/157)

 

Bersambung

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *