FIQIH PUASA RAMADHAN (Bagian 7 – Golongan Manusia yang Diperbolehkan untuk Berbuka)

Oleh : Abu Ibrohim Muhammad Ali dan Abu Ghozie As Sundawie

A. Orang sakit

Dalam hukum puasa, orang sakit terbagi kepada dua macam:

Pertama: Sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka baginya boleh tidak puasa dan wajib membayar fidyah.

Kedua: sakit yang diharapkan kesembuhannya, maka orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan:

1.Sakit ringan

Yaitu sakit yang tidak memberikan pengaruh terhadap puasa, demikian pula berbuka tidak memberikan keringanan kepadanya. Seperti: flu yang ringan, pusing yang ringan, sakit gigi, dan sebagainya, maka dalam kondisi seperti ini seseorang tidak diperbolehkan berbuka karenanya.

2. Sakit ringan yang bertambah parah

Jika berpuasa, akan memberatkannya walaupun tidak membahayakannya, maka dalam kondisi seperti ini seseorang dianjurkan untuk berbuka dan dibenci bila memaksakan diri berpuasa.

3. Sakit berat

Yaitu sakit yang menyebabkan seseorang merasa berat melakukan puasa dan berpuasa dapat berakibat buruk terhadapnya bahkan dapat mengantarkannya kepada kematian, maka dalam kondisi seperti ini seorang diwajibkan berbuka dan haram baginya untuk berpuasa. Allah Z ber-Firman:

 …وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ الله كَانَ بِكُمْ رَحِيماً

“… Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS An-Nissa’: 29)

Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya berpuasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya atau dengan bantuan diagnosa dokter yang terpercaya keilmuannya.

 

B. Musafir

Dalil bolehnya orang yang sakit dan orang yang safar (dalam perjalanan –ed) untuk tidak puasa dan menggantinya pada hari yang lain adalah Firman Allah I:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS Al-Baqarah: 185)

Safar dibagi dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1.Safar yang dilakukan membuat seseorang berat untuk melakukan puasa tapi tidak sampai membahayakannya.

Maka ketika itu berbuka lebih baik bagi dirinya. Diantara dalilnya adalah hadits dari Jabir bin Abdillah f, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوْا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ اَلصَّوْمُ فِي السَّفَرِ

“Suatu ketika Rasulullah k berada dalam perjalanan, lalu beliau melihat sekelompok orang yang berdesakan dan orang yang sedang diteduhi, lalu beliau bertanya, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ia sedang berpuasa.’ Kemudian Rasulullah a bersabda, ‘Bukan termasuk kebaikan (baginya), berpuasa di dalam perjalanan’”. (HR. Bukhari: 1844 (lafazh ini miliknya), dan Muslim: 1115.)

2.  Safar yang dilakukan tidak membuat seseorang merasa berat untuk berpuasa.

Maka berpuasa lebih baik baginya daripada berbuka. Hal ini berdasarkan keumuman Firman Allah Z:

وَأَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan berpuasa lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”. (QS Al-Baqarah: 184)

Alasan lebih baik berpuasa karena sebab-sebab berikut:

Pertama: Mencontoh Rasulullah k yang tetap berpuasa, berdasarkan hadits Abu Darda  f, dia berkata

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ

“Kami pernah bepergian bersama Nabi i pada bulan Ramadhan ketika hari sangat panas, sampai ada seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena saking panasnya hari itu, diantara kami tidak ada yang puasa kecuali Rasulullah i dan Abdullah bin Rawahah”.(HR Bukhari: 1945, dan Muslim: 1122)

Kedua: Hal itu lebih cepat melepaskan tanggungan.

Ketiga: Lebih ringan bagi seorang hamba, karena berpuasa dengan orang banyak terasa lebih ringan, dan apa yang lebih ringan maka ia lebih utama.

Keempat: Puasanya bertepatan dengan bulan Ramadhan, yang ia lebih utama dari bulan lainnya. (Asy-Syarh Al-Mumti’, Ibnu Utsaimin: 6/330)

 3. Safar yang dilakukan membuat seseorang merasa berat untuk berpuasa dan dapat membahayakan dirinya, maka wajib ia berbuka dan haram baginya berpuasa.

Hal ini seperti disebutkan dalam hadits Jabir  f,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِيْ رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيْمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيْلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ : إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ. قَالَ : أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ.

“Bahwa Rasulullah k keluar menuju Makkah ketika Fathu Makkah pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga sampai di Kura’ Al-Ghamim sementara orang-orang ikut berpuasa, kemudian beliau meminta diambilkan segelas air dan mengangkatnya sehingga semua orang melihatnya, lalu beliau meminumnya. Setelah itu dikatakan kepada beliau bahwa sebagian orang tetap berpuasa. Maka Rasulullah k bersabda, ‘Mereka adalah orang-orang yang melakukan maksiat, mereka orang yang melakukan maksiat’. (HR. Muslim: 1114)

 

C. Orang lanjut usia

Orang yang lanjut usia serta tidak mampu untuk berpuasa, maka tidak ada qadha’ baginya, tetapi hanya diwajibkan membayar fidyah (memberi makan orang miskin). Sebagaimana Firman Allah Z:

 …وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ…

“… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin …”. (QS. Al-Baqarah: 184)

Berkata Ibnu ‘Abbas  f,

رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ، وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

“Orang tua lanjut usia diberi keringanan untuk tidak puasa dan memberi makan setiap hari untuk seorang miskin dan tidak ada qadha’ baginya”. (HR. Daruquthni: 2380)

Cara membayar fidyah ada dua macam:

[1] Membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang miskin sebatas hari yang ditinggalkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat Anas bin Malik I ketika di usia lanjutnya.

[2] Membagikan satu mud (kurang lebih setengah kilogram beras) beserta lauk pauknya. Bisa juga membagikan makanan matang dengan lauk pauknya.

 

D. Wanita yang hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui ada tiga keadaan:

Pertama: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir bila puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka ia boleh berbuka dan wajib meng-qadha’ di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas Ulama, karena ia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya.

Allah Z ber-Firman:

 …فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ…

“… Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain …” (QS Al-Baqarah: 184).

Imam Ibnu Qudamah f mengatakan, “Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya maka boleh berbuka dan wajib meng-qadha’ saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan diantara Ahli Ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.

Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya juga, maka boleh baginya berbuka dan wajib meng-qadha’ seperti keadaan pertama.

Imam An-Nawawi f mengatakan, “Para sahabat kami mengatakan: orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan meng-qadha’, tidak ada fidyah karena ia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir puasanya membahayakan dirinya dan anaknya, dia juga berbuka dan meng-qadha’ tanpa ada perselisihan”.(Al-Majmu’, Imam An-Nawawi: 6/177, Fathul Qadir: 2/355)

Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir puasanya akan membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, tidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama hingga sampai 6 pendapat, setidaknya ada 3 pendapat yang masyhur:

  1. Wajib qadha’ saja, inilah pendapatnya Hasan Bashri, Atho, Ad-Dahak, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i.
  2. Wajib fidyah saja, inilah pendapatnya Sa’id bin Jubair.
  3. Wajib qadha’ dan fidyah, inilah pendapatnya Mujahid dan Syafi’i.

Imam Ibnul Mundzir f berkata setelah memaparkan perselisihan para Ulama dalam masalah ini:

“Dengan pendapat Hasan dan Atho kami berpendapat”. (Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama: 3/152)

Ada juga pendapat lain dari kalangan para Ulama bahwa wanita yang sedang hamil dan menyusui, jika mereka tidak mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah, tetapi mereka tidak wajib meng-qadha’. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar M.Ini juga madzhab Ishaq dan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani p.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas f, ia berkata:

“Jika wanita yang hamil khawatir akan dirinya, begitu pula wanita yang menyusui khawatir akan anaknya di saat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka meng-qadha’ puasa”. (HR. Thabrani : 2758)

Juga riwayat dari Nafi’ f, ia berkata:

كَانَتْ بِنْتُ لِابْنِ عُمَرَ تَحْتَ رَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانَتْ حَامِلًا فَأَصَابَهَا عَطَشٌ فِيْ رَمَضَانَ فَأَمَرَهَا بْنُ عُمَرُ أَنْ تُفْطِرَ وَتُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا.

“Salah seorang putri dari Ibnu ‘Umar f menjadi istri salah seorang laki-laki Quraisy, ketika Ramadhan ia sedang hamil lalu ia kehausan, maka Ibnu ‘Umar f memerintahkan untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkan)”. (HR. Daruquthni: 15 dalam Bab Thulu’usy Syamsyi ba’dal Ifthar)

 

E. Wanita haidh dan nifas

Seorang wanita yang mengalami haidh dan nifas tidak diperbolehkan untuk melakukan puasa. Diantara dalilnya adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri f, bahwa Nabi k bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ بَلَى فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا

“Bukankan jika ia sedang haidh ia tidak melakukan shalat dan puasa?” Kami menjawab, “Ya” Maka Nabi k bersabda, “Itulah kekurangan Agamanya”. (HR Bukhari: 298)

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *