Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Orang yang memahami agamanya dengan baik pasti tidak akan ragu bahwa agama yang mulia ini memberikan kemudahan kepada para hamba Allah dan tidak menghendaki kesulitan. Islam telah membolehkan beberapa perkara bagi orang yang berpuasa. Apabila beberapa perkara ini dikerjakan maka ia tidaklah membatalkan puasanya, diantara perkara-perkara tersebut, adalah: ([1])
1. Memasuki waktu Subuh dalam keadaan Junub
Apabila seseorang junub di malam hari, baik karena Jima’ dengan istrinya atau karena mimpi basah, lalu di pagi harinya akan berpuasa maka puasanya sah, walaupun mandinya setelah terbit fajar. Hal ini berdasarkan haditsnya ‘Aisyah dan Ummu Salamah i,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ
“Sesungguhnya Rasulullah k memasuki waktu Subuh dalam keadaan junub karena Jima’ dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa”. ([2])
Demikian pula masuk dalam masalah ini wanita yang haidh dan nifas apabila darah mereka sudah berhenti di waktu malam lalu masuk waktu Subuh maka hendaklah mereka berpuasa walaupun mandinya setelah masuk waktu Subuh. ([3])
2. Bersiwak
Bersiwak sangat dianjurkan dalam semua keadaan, baik ketika sedang berpuasa ataupun tidak puasa. Terutama ketika berwudhu dan hendak shalat. Rasulullah k bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali shalat”. [4]Dalam lafadz lain “setiap kali wudhu”. ([5])
Rasulullah k tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudhu dan shalat. ([6])
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu A’lam.
Ibnul ‘Arabi f berkata: “Para Ulama kita telah mengatakan tidak sah satu hadits pun tentang hukum bersiwak bagi orang yang berpuasa. Tidak ada yang menetapkan dan tidak ada yang meniadakan. Hanya saja Nabi k menganjurkan bersiwak setiap kali berwudhu dan setiap akan shalat secara umum, tanpa membedakan antara orang yang berpuasa ataupun tidak”. ([7])
3. Berkumur-kumur dan ber-istinsyaq (memasukan air ke hidung) tanpa berlebihan
Dari Laqith bin Shabirah p, bahwasanya Rasulullah k bersabda:
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“… Bersungguh-sungguhlah dalam ber-istinsyaq kecuali dalam keadaan puasa”. ([8])
Dibolehkan bagi yang sedang berpuasa untuk berkumur dan ber-istinsyaq, baik ketika berwudhu, mandi, atau yang lainnya.
4. Bercumbu dan mencium istri
Boleh bagi suami istri untuk bercumbu dan berciuman asalkan mampu menahan dari keluarnya air mani atau terjerumus kepada perbuatan yang haram yaitu Jima’ di siang hari puasa Ramadhan.
‘Aisyah g, pernah berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah Rasulullah k pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri”. ([9])
Bercumbu dan mencium istri ini dibolehkan apabila dipastikan mampu menahan syahwatnya sehingga tidak terjerumus pada perkara yang dilarang yaitu jima’. Maka hal itu dimakruhkan bagi yang masih berusia muda dengan syahwat yang bergejolak. Adapun orang yang sudah tua dan berkurang syahwatnya maka dibolehkan secara mutlak.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash f, ia berkata: “Kami pernah berada di sisi Nabi k, datanglah seorang pemuda seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?’ Beliau menjawab, ‘Tidak’.Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata, ‘Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?’. Beliau menjawab, ‘Ya’. Sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah k bersabda:
إِنَّ الشَّيْخَ يَمْلِكُ نَفْسَهُ
‘Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya’”. ([10])
Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafizhahullah mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Yazid bin Abu Hubaib dari Qushair At-Tujaibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaif-nya Ibnu Lahi’ah, tetapi punya syahid (pendukung) pada riwayat Thabrani dalam Al-Kabir no: 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas. Habib seorang mudallis dan telah ‘an-‘anah, dengan syahidini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih, hal. 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain”.([11])
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin f berkata: “Ciuman terbagi kepada menjadi tiga macam:
Pertama: Ciuman yang tidak diiringi syahwat. Seperti ciuman seorang bapak kepada anak-anaknya yang masih kecil. Maka hal ini boleh, tidak ada pengaruh dan hukumnya bagi orang yang berpuasa.
Kedua: Ciuman yang dapat membangkitkan syahwat tetapi dirinya merasa aman dari keluarnya air mani, maka hal ini hukumnya di dalam madzahab Hanbali dibenci, akan tetapi yang benar adalah boleh.
Ketiga: Ciuman yang dikhawatirkan keluarnya air mani maka jenis ciuman ini tidak boleh. Haram dilakukan jika dugaan kuatnya mengatakan bahwa kalau ciuman nanti akan keluar air mani. Seperti seorang pemuda yang kuat syahwatnya dan sangat cinta pada isterinya. ([12])
5. Berbekam
Bekam atau Hijamah adalah mengeluarkan darah kotor dari tubuh sebagai bentuk pengobatan Nabi k. Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum berbekam bagi orang yang sedang puasa. Menurut mayoritas Ulama, diantaranya Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik boleh berbekam berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas f, yang mengatakan:
احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Adalah Nabi k berbekam padahal beliau sedang berpuasa”. ([13])
Sebagian Ulama berpendapat batalnya puasa bagi yang berbekam, diantaranya adalah Madzhab Hambali. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Imam Ibnu Qoyyim. Mereka berdalil dengan hadits dari Syadad bin Aus f bahwa Rasulullah k bersabda:
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
“Yang berbekam dan yang dibekam, batal puasanya”.([14])
Penjelasan dalam masalah ini adalah bahwa hadits ini telah dihapus hukumnya. Hal ini diisyaratkan oleh riwayat dari Abu Sa’id f dimana ia berkata:
رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ، وَرَخَّصَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
“Rasulullah k memberi keringanan bagi orang orang yang berpuasa mencium (istri), dan memberi keringanan untuk berbekam”.([15])
Al-Hafidz Ibnu Hajar f berkata, “Ibnu Hazm berkata sanadnya shahih, maka wajib mengambil hadits ini, karena keringanan itu datang setelah kewajiban. Maka hadits ini menunjukkan bahwa hukum berbekam yang dapat membatalkan puasa telah terhapus, baik untuk yang membekam ataupun yang dibekam”. ([16])
6. Mencicipi Makanan
Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas f,
لاَبَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَمَالَمْ يُدخِلْ حَلقَهُ وَهُوَصَائِمٌ
“Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan”. ([17])
Syaikhul Islam f berkata: “Mencicipi makanan bisa jadi makruh (dibenci) bila tidak ada kebutuhan, tetapi tidak membatalkan puasa. Adapun jika ada kebutuhan maka ia seperti berkumur-kumur (maksudnya boleh)”. ([18])
7. Bercelak, memakai tetes mata, dan lainnya yang masuk ke mata
Memakai celak atau obat tetes mata dan yang lainnya tidaklah membatalkan puasa, menurut pendapat yang kuat, baik dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah pendapatnya ulama madzhab Hanafiyyah dan Syafi’iyyah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan murid beliau Ibnu Qayyim. ([19])
Imam Bukhari f berkata di dalam kitab Shahih-nya: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’i memandang bahwa memakai celak mata tidak mengapa bagi yang berpuasa”. ([20])
8. Mandi, mendinginkan badan, dan berenang
Dari Abu Bakar bin Abdurahman dari sebagian para Sahabat Nabi k ia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ، وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ، أَوْ مِنَ الْحَرِّ
“Aku melihat Rasulullah a di ‘Arj mengguyurkan air ke atas kepalanya, sementara beliau sedang berpuasa, beliau ingin mengusir rasa dahaga atau panasnya”. ([21])
9. Makan minum karena lupa
Makan dan minum karena lupa tidaklah membatalkan puasanya, bahkan puasanya sah, tanpa membayar qadha’ dan tanpa pula membayar kaffarah.
Dari Abu Hurairah f, dari Nabi k yang bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang sedang puasa lupa makan dan minum maka sempurnakanlah puasanya, karena sesungguhnya Allah yang telah memberinya makan dan minum”. ([22])
————-
([1]) Lihat Shifatu Shaumin Nabi Shalallahu alaihi wasallam: hal. 53
([2]) HR Bukhari: 1925, 1926, 1930, 1931 dan 1932, Muslim: 1109
([3]) Ahaditsu Shiyam Ahkam wa Adab, Syaikh Abdullah Al-Fauzan: hal. 107
([4]) HR Bukhari: 847, Muslim: 252
([5]) Ahmad: 7504, 7406, Shahihul Jaami’: 5318
([6]) Lihat Fathul Bari: 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah:3/247, Syarhus Sunnah, Al-Baghowi: 6/298
([7]) Lihat Shahih Fiqih Sunnah:2/117, Shahih Ibnu Khuzaimah: 3/247, Syarhus Sunnah: 6/298
([8]) HR Tirmidzi: 3/146, Abu Dawud: 2/308, Ahmad: 4/32, Ibnu Abi Syaibah: 3/101, Ibnu Majah: 407, An-Nasa’i no. 87 dari Laqith bin Shabrah
([9]) HR Bukhari: 1927, Muslim: 1106
([10]) HR Ahmad: 2/185, 22: 6739
([11]) Shifatus Shiyami Nabi a hal. 54-55
([12]) As-Syarhul Mumti’, Syaikh Al-Utsaimin: 6/427. Lihat juga Majalisu Syahri Ramadhan, Ibnu ‘Utsaimin: hal. 160
([13]) HR Bukhari: 1939
([14]) HR Abu Dawud: 2367, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 2/61-62
([15]) HR An-Nasa’i, Al-Kubra:3/345, Ibnu Khuzaimah: 3/230, dishahihkan oleh Al-Albani Rahimahullah dalam Al-Irwa: 4/75
([16]) Fathul Bari, Ibnu Hajar: 4/178, Al-Muhalla: 6/205, lihat juga Al-I’tibar fi Naasikh wal Mansukh,Al-Hazimi hal. 108
([17]) HR Bukhari secara mu’allaq: 4/154-Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah: 3/47, Baihaqi: 4/261 dari dua jalannya, hadits ini hasan. Lihat Taghliqut Ta’liq: 3/151-152, lihat Sifat Shaumin Nabi: hal 55
([18]) Majmu’ Fatawa: 25/266
([19]) Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab:6/348, Haqiqatus Shiyam: hal. 37, Majmu’ Fatawa: 25/242, lihat Sifat Shaumin Nabi hal. 56
([20]) Shahih Al-Bukhari: 4/153
([21]) HR Abu Dawud: 2365, lihat Sifat Shaumin Nabi, hal. 56
[22] HR Bukhari: 1933, Muslim: 1155