Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Seekor unta boleh patungan untuk tujuh orang dan maksimal untuk sepuluh orang. Sedangkan seekor sapi dapat digunakan patungan untuk tujuh orang.
Dari Jabir bin ’Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata :
نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ : اَلْبَدَنَةُ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ.
”Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.”
(HR. Muslim : 1318).
Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbas , ia berkata :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةٌ وَفِي الْجُزُوْرِ عَشْرَةٌ.
”Kami pernah bepergian bersama Nabi ﷺ. Lalu tibalah hari raya qurban, kemudian kami berpatungan (berserikat) seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.”
(HR. Tirmidzi : 905, Ibnu Majah : 3131).
Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan :
فِي هَذِهِ الأَحَادِيث دَلالَة لِجَوَازِ الِاشْتِرَاك فِي الْهَدْي , وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشَّاة لا يَجُوز الاشْتِرَاك فِيهَا. وَفِي هَذِهِ الأَحَادِيث أَنَّ الْبَدَنَة تُجْزِئ عَنْ سَبْعَة , وَالْبَقَرَة عَنْ سَبْعَة , وَتَقُوم كُلّ وَاحِدَة مَقَام سَبْع شِيَاه, حَتَّى لَوْ كَانَ عَلَى الْمُحْرِم سَبْعَة دِمَاء بِغَيْرِ جَزَاء الصَّيْد , وَذَبَحَ عَنْهَا بَدَنَة أَوْ بَقَرَة أَجْزَأَهُ عَنْ الْجَمِيع “
“Dari beberapa hadits di atas menunjukkan bolehnya bekerjasama dalam berkurban, dan hasil ijma’ mereka bahwa untuk kambing tidak bisa untuk patungan.
Dan dalam hadits ini bahwasanya badanah (unta gemuk) bisa untuk tujuh orang, dan sapi juga untuk tujuh orang.
Setiap sapi dan unta masing-masing seperti tujuh kambing, hingga jika seseorang yang berihram harus membayar tujuh dam, maka ia boleh menyembelih badanah (unta) atau sapi”.
(Syarah Muslim 9/67)
Lajnah Daimah (Majlis Fatwa Saudi Arabia) pernah ditanya tentang patungan atau kerjasama dalam berkurban, lalu mereka menjawab :
تُجْزِئُ الْبَدَنَةُ وَالْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ، سَوَاءٌ كَانُوْا مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ وَاحِدٍ أَوْ مِنْ بُيُوْتٍ مُتَفَرِّقِيْنَ، وَسَوَاءٌ كَانَ بَيْنَهُمْ قَرَابَةً أَوْ لَا لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ لِلْصَّحَابَةِ فِيْ الْاِشْتِرَاكِ فِيْ الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ كُلِّ سَبْعَةٍ فِيْ وَاحِدَةٍ، وَلَمْ يُفَصِّلْ ذَلِكَ
“Unta dan sapi untuk tujuh orang, baik mereka terdiri-dari satu anggota keluarga, atau dari banyak keluarga, baik mereka ada hubungan kekerabatan atau tidak, karena Nabi ﷺ mengizinkan para sahabatnya untuk bergabung setiap tujuh orang dalam satu ekor unta atau sapi, dan beliau tidak merinci dalam hal tersebut”.
(Fatawa Lajnah Daimah: 11/401)
Dibolehkan dalam patungan kurban tidak sama jumlah nominalnya asalkan disepakati oleh peserta yang lainnya, karena hukum asal patungan itu adalah sama rata, oleh karena itu manakala tidak sama nominal patungan maka harus ada kesepakatan dengan peserta lain. Sebagaiman juga dibolehkan patungan kurban kurang pesertanya dari yang ditetapkan.
Hal ini karena jika dibolehkan patungan kurban unta atau sapi dengan 7 orang maka tentunya kurang dari 7 lebih boleh lagi, sebagaimana seseorang jika berkurban dengan kambing boleh tentu berkurban dengan sapi atau unta lebih boleh lagi padahal kurban dengan kambing telah mencukupinya.
Imam As Syafi’I rahimahullah berkata :
وَإِذَا كَانُوا أَقَلَّ مِنْ سَبْعَةٍ أَجْزَأَتْ عَنْهُمْ وَهُمْ مُتَطَوِّعُونَ بِالْفَضْلِ كَمَا تُجْزِي الْجَزُورُ عَمَّنْ لَزِمَتْهُ شَاةٌ وَيَكُونُ مُتَطَوِّعًا بِفَضْلِهَا عَنْ الشَّاةِ
“Jika mereka kurang dari tujuh, tetap sah bagi mereka, berarti kelebihannya dianggap sebagai tambahan sukarela dari mereka, sebagaimana sah jika seseorang berkurban unta sementara baginya hanya dituntut dengan seekor kambing, kelebihannya dianggap tambahan sukarela darinya.”
(Al-Umm, 2/244)
Al Kaasani rahimahullah berkata :
وَلَا شَكَّ فِي جَوَازِ بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ عَنْ أَقَلَّ مِنْ سَبْعَةٍ ، بِأَنْ اشْتَرَكَ اثْنَانِ أَوْ ثَلَاثَةٌ أَوْ أَرْبَعَةٌ أَوْ خَمْسَةٌ أَوْ سِتَّةٌ فِي بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا جَازَ السُّبْعُ فَالزِّيَادَةُ أَوْلَى ، وَسَوَاءٌ اتَّفَقَتْ الْأَنْصِبَاءُ فِي الْقَدْرِ أَوْ اخْتَلَفَتْ ؛ بِأَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمْ النِّصْفُ ، وَلِلْآخَرِ الثُّلُثُ ، وَلِآخَرَ السُّدُسُ ، بَعْدَ أَنْ لَا يَنْقُصَ عَنْ السُّبْعِ
“Tidak diragukan lagi bolehnya berkurban dengan unta atau sapi oleh kurang dari tujuh orang, misalnya yang bergabung adalah dua orang, atau tiga orang atau empat atau lima atau enam untuk satu unta dan sapi.
Karena jika sepertujuh dibolehkan, maka lebih dari itu dibolehkan, apakah yang bergabung itu sepakat dengan jumlah bagiannya masing-masing atau tidak. Misalnya yang satu berkurban setengahnya, sedangkan yang lain sepertiganya, yang lainnya seperenamnya, dengan syarat tidak kurang dari sepertujuh (tidak boleh lebih dari 7 orang).”
(Bada’i Ash-Shana’i’, 5/71)
Dari penjelasan diatas jelaslah kekeliruan dalam masalah patungan kurban yang dilakukan di sebagian instansi sekolah sekolah dimana para siswa yang jumlahnya puluhan bahkan mencapai ratusan orang berpatungan atau urunan untuk membeli hewan kurban lalu menyembelih dengan niat berkurban, terkadang sebagian mereka beralasan untuk melatih berderma dan melatih berkurban, maka hal ini keliru karena berkurban adalah ibadah yang ada ketentuannya, bukan sekedar makan atau membagi bagikan daging saja, akan tetapi perkara ibadah yang sudah ditetapkan tatacaranya, jenisnya, waktunya dan batasan batasannya.
Oleh karena itu Nabi ﷺ menghukumi tidak sah kurbannya sahabat Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan paman dari al-Barra bin Azib , yang telah menyembelih hewan kurbannya diluar ketentuan waktunya yaitu menyembelih sebelum berangkat shalat ‘Id, dengan harapan bisa segera sarapan dengan daging kurban tersebut. Setelah mendengar khutbah Nabi ﷺ bahwa tidak sah berkurban sebelum shalat ied, akhirnya dia menghadap kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata :
يا رَسولَ اللَّهِ، فإنِّي نَسَكْتُ شاتي قَبْلَ الصَّلاةِ، وعَرَفْتُ أنَّ اليومَ يَوْمُ أكْلٍ وشُرْبٍ، وأَحْبَبْتُ أنْ تَكُونَ شاتي أوَّلَ ما يُذْبَحُ في بَيْتِي، فَذَبَحْتُ شاتي وتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أنْ آتِيَ الصَّلاةَ، قالَ: شاتُكَ شاةُ لَحْمٍ
Ya Rasulullah, aku menyembelih kambingku sebelum shalat. Karena aku tahu ini hari makan dan minum. Aku ingin agar kambingku pertama kali disembelih di rumahku. Maka aku pun menyembelih kambingku, dan sarapan dengannnya sebelum berangkat shalat. Rasulullah ﷺ pun berkata, Kambingmu hanya sembelihan biasa (bukan kurban).
(HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadits diatas mengandung pelajaran bahwa berkurban bukan sekedar menyembelih hewan atau membagikan daging saja, akan tetapi ada ketentuan waktunya, jenis hewannya, caranya, termasuk dalam masalah patungan pun ada batasannya, yang telah diatur oleh syari’at.
Wallahu a’lam.