ADAB MEMBACA AL QUR’AN – MEMBACA ISTI’ADZAH DAN BASMALLAH KETIKA HENDAK MEMBACA AL QUR’AN

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

مِنَ السُّنَّةِ الْاِسْتِعَاذَةُ قَبْلَ التِّلَاوَةِ، وَاْلأَصْلُ فِيْ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى :{فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ} [النحل: 98]

Di antara sunnah yang harus dilakukan ketika membaca Al Qur’an adalah membaca isti’adzah. Hal itu telah dijelaskan dalam firman Allah , “Apabila kamu membaca Al-Qur an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk.”

وَمِنَ السُّنَّةِ مَا رَوَاهُ أَبُوْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ كَبَّرَ، ثُمَّ يَقُولُ: «سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ»،

Dan dari sunnah yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri , dia berkata, “bahwasanya bila bangun malam Rasulullah mengucapkan takbir kemudian membaca, “Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, Mahabesar nama-Mu dan Mahatinggi Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.”

ثُمَّ يَقُولُ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: «اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا» ثَلَاثًا، «أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْخِهِ، وَنَفْثِهِ ([ . همزه : همزَ الشيطان الإنسان همزاً: همس في قلبه وسواساً. وهمزات الشيطان:خطراته التي يُخطرها بقلب الإنسان (لسان العرب:5/426)مادة: همز .

Hamzihi : Hamaza asy-syaithan al-insan hamzan (syetan meng-hamz Seorang manusia) yakni syetan membisikkan ke dalam hati manusia. Dan hamazat asy Syaithan adalah bisikan-bisikannya yang dimasukkan syetan ke dalam hati manusia. Lisan Al-Arab, (5/426), akar kata: Hamaza.

نفخه : النفخ : الكبْر في قوله: أعوذ بك من همزه ونفخه ونفثه … لأن المتكبر يتعاظم ويجمع نفْسَه ونفَسَه فيحتاج أن ينفخ . (اللسان:3/64) مادة: نفخ .

Nafkhihi : artinya adalah kesombongan. Karena orang yang sombong merasa angkuh dan merupakan penyatuan antara jiwa seseorang dan nafasnya, maka dia perlu untuk ditiup. Lisan Al-Arab, 64, akar kata: nafakha

نفثه : وأما النفث فتفسيره في الحديث أنه الشعر؛ قال أبو عبيد: وإنما سمي النفث شعراً لأنه كالشيء ينفثه الإنسان من فيه، كالرقية . اللسان:2/196) مادة: نفث .

Naftsihi : Di dalam hadits ini, an-nafts artinya syair. Abu Ubaid berkata, “Nafis dinamakan dengan syair, dikarenakan syair seperti sesuatu yang dihembuskan syetan pada manusia dari mulutnya, sebagaimana rukyah. Lisan Al-Arab, 2/196, akar kata: nafatsa])

ثُمَّ يَقْرَأُ ([ . رواه أبوداود (775) وقال الألباني صحيح . وقال ابن كثير: قد رواه أهل السنن الأربعة … وقال الترمذي :هو أشهر شيء في هذا الباب ( تفسير القرآن العظيم ) (1/13) ط. مكتبة الحرمين .]).

Kemudian beliau membaca : laa ilaaha illallah sebanyak tiga kali Kemudian beliau membaca: Allahu akbar sebanyak tiga kali. Dan membaca : “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari Syetan yang terkutuk dari bisikannya, dari tiupan. nya dan dari hembusannya. Baru kemudian beliau membaca Al-Quran.”

فَتَحْصُلُ لَنَا مِنَ الْآيَةِ وَالْحَدِيْثِ صِيْغَتَانِ لِلْاِسْتِعَاذَةِ. (1)-أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (2)-أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ. (3)-أَعُوْذُ بِالسَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ([ ذُكرت هذه الصيغة عند أبي داود برقم(785) ولم يصحح الألباني هذه الرواية . واستشهد بها ابن عثيمين في الشرح الممتع على زاد المستقنع، مما يدل على ثبوتها عنده . انظر الشرح (3/71) ط. مؤسسة آسام . ]) .

Dari ayat dan hadits diatas ada dua bentuk bacaan isti’adzah: 1-(aku berlindung kepada Allah dan syetan yang terkutuk). 2-(aku berlindung kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk dari bisikannya, dari tiupan. nya dan dari hembusannya. ). 3-(aku berlindung kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk)

فَيُسْتَحَبُّ لِلْقَارِىءِ أَنْ يَعْمَلَ بِهَذِهِ وَهَذِهِ. وَفَائِدَةُ الْاِسْتِعَاذَةِ : لِيَكُوْنَ الشَّيْطَانُ بَعِيْداً عَنْ قَلْبِ الْمَرْءِ، وَهُوَ يَتْلُو كِتَابَ اللهِ

Maka dianjurkan bagi pembaca Al-Qur’an untuk membaca yang mana saja dari bentuk bacaan ini. Dan faidah dari isti’adzah ini adalah agar syetan jauh dari hati seseorang yang sedang membaca Al-Qur’an.

حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ بِذَلِكَ تَدَبُّرُ الْقُرْآنِ، وَتَفَهُّمُ مَعَانِيْهِ، وَالْاِنْتِفَاعُ بِهِ؛ لِأَنَّ هُنَاكَ فَرْقٌ بَيْنَ أَنْ تَقْرَأَ الْقُرْآنَ وَقَلْبُكَ حَاضِرٌ وَبَيْنَ أَنْ تَقْرَأَ وَقَلْبُكَ لَاهٍ، قَالَهُ ابْنُ عُثَيْمِيْنِ ([ . الشرح الممتع (3/71)]) .

Dengan demikian, seseorang dapat memikirkan dan merenungkan Al-Qur’an, memahami maknanya dan mengambil manfaat dari Al-Qur’an. Karena di sana ada perbedaan antara membaca Al-Qur’an dengan menghadirkan hati dan tidak. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Al-Utsaimin.”

أَمَّا الْبَسْمَلَةُ فَهِيَ سُنَّةٌ، فَقَدْ رَوَى أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا، إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا.

Adapun membaca basmalah merupakan sunnah. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa pada suatu hari tatkala Rasulullah bersama kami, tiba-tiba beliau pingsan, lalu menengadahkan kepala beliau ke langit dan tersenyum.

فَقُلْنَا: مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:” نَزَلَتْ عَلِيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ: إِنَّا أَعْطَيْناكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ الحديث ([ . رواه مسلم (400)]) .

Kami bertanya, “Apa yang membuat engkau tersenyum wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barusan diturunkan kepadaku sebuah surat.” Anas berkata, “Lalu Rasulullah membaca: “Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

مَسْأَلَةٌ : اعْتَادَ النَّاسُ أَنْ يَنْهَوْا تِلَاوَتَهُمْ بِقَوْلِ : صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ. فَهَلْ عَلَى هَذَا دَلِيْلٌ صَحِيْحٌ؟

Soal : Manusia terbiasa membaca : Shadaqallahul ‘Adzim (Maha benar Allah dengan segala firman-Nya) Apakah ini ada dalilnya?

الْجَوَابُ : لَا دَلِيْلَ عَلَى قَوْلِ {صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ} عِنْدَ الْاِنْتَهَاءِ مِنَ التِّلَاوَةِ، وَإِنْ كَانَ هَذَا عَمَلُ الْأَكْثَرِيْنَ، وَعَمَلُ الْكَثْرَةِ لَيْسَ دَلِيْلاً عَلَى إِصَابَةِ الْحَقِّ، قَالَ تَعَالَى : {وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ} [يوسف: 103].

Jawab : tidak ada dalil ketika selesai membaca Al Qur an mengucapkan : Shadaqallahul ‘adzim. Sekalipun ini adalah perbuatan kebanyakan orang saat ini. Dan amalan orang banyak bukanlah hujjah untuk menetapkan sebuah kebenaran. Allah berfirman, “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”

وَمِنْ لَطِيْفِ قَوْلِ الْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ رَحِمَهُ اللهُ : لَا تَسْتَوْحِشْ طُرُقَ الْهُدَى لِقِلَّةِ أَهْلِهَا، وَلَا تَغْتَرَّ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِينَ. بَلْ إِنَّ الدَّلِيْلَ مَعَ مَنْ مَنَعَ خَتْمَ التِّلَاوَةِ بِهَذَا الْقَوْلِ.

Dan ada sebuah hikmah dari ungkapan Fudhail bin Iyadh v“Janganlah menjauhi (bersedih) jalan kebenaran karena sedikit penempuhnya. Dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan.” Bahkan sebaliknya, dalil berpihak ke pada orang yang melarang membaca : Shadaqallahul ‘Adzim bila selesai membaca Al-Qur an.

فَقَدْ رَوَى الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ» قَالَ : قُلْتُ : أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ: «إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي»

Imam Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud , dia berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Bacalah Al-Quran di hadapanku! Aku bertanya, “Apakah aku membacanya di hadapan engkau sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Rasul berkata, “Aku suka kalau aku mendengarnya dari selainku.’

قَالَ : فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ : {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} [النساء: 41] قَالَ لِي: «كُفَّ أَوْ أَمْسِكْ» فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَذْرِفَانِ ([ . البخاري (5055) وللفظ له ، ومسلم (800)]) .

Maka aku membaca surat AnNisa’, hingga aku sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Rasulullah berkata, “Cukuplah sampai di sini.’ Aku melihat kedua mata Rasulullah berderai air mata.”

بِأَبِيْ هُوَ وَأُمِيْ. فَلَمْ يَقُلْ لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ : صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ، وَلَمْ يَثْبُتْ ذَلِكَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ولَمْ يَعْهَدْ عَنِ الصَّدْرِ الْأَوَّلِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَلَفَّظُونَ بِذَلِكَ عِنْدَ الْاِنْتِهَاءِ مِنْ تِلَاوَتِهِمْ،

Dan Rasulullah tidak memerintahkan Ibnu Mas’ud untuk membaca : Shadqallahul ‘adzim. Dan tidak ada hadits shahih dari Nabi , juga amalan tersebut tidak dikenal pada masa para shahabat Radhiyallahu Anhum bahwasanya mereka membaca lafazh ini ketika selesai membaca Al Qur an.

لَمْ يُعْرَفْ ذَلِكَ عِنْدَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ بَعْدِ الصَّحَابَةِ. إِذًا مَا بَقِيَ أَنْ نَقُوْلَ إِلَّا أَنَّهُ مُحْدَثٌ وَلَيْسَ فِيْهِ سُنَّةٌ تَجُوْزُ هَذَا الذِّكْرَ .

Juga tidak dikenal pada para salafushshalih setelah zaman para shahabat. Kalau begitu tinggallah kita katakan bahwa hal itu adalah sesuatu yang baru, dan tidak ada sunnah yang membolehkan menyebut lafazh ini.

قَالَتِ اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ : قولُ القَائِلِ {صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيْمُ} في نَفْسِهَا حَقٌ، وَلَكِنْ ذِكْرُهَا بَعْدَ نِهَايَةِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ بِاسْتِمْرَارِ بِدْعَةٌ، لِأَنَّهُا لَمْ تَحْصُلْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا مِنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ فِيْمَا نَعْلَمُ مَعَ كَثْرَةِ قِرَاءَتِهِمُ الْقُرْآنَ،

Al-Lajnah Ad-Daimah berkata, “Bacaan shadqallahul ‘Adzim esensinya adalah benar. Akan tetapi, selalu mengucapkannya setelah selesai membaca Al-Qur’an itu bid’ah. Karena hal demikian tidak dilakukan oleh Nabi juga tidak dilakukan oleh para Khalifah Ar-Rasyidin, sepengetahuan kami meskipun mereka banyak membaca Al-Qur’an.

وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لِيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ وفي رواية : مَنْ أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هَذَا، مَا لَيْسَ مِنْهُ، فَهُوَ رَدٌّ ([ . فتوى رقم (4310) (4/118) . وتلاحظ أننا قد أطلنا في هذه المسألة لكثرة من يعمل بها مع وضوح السبيل . فالله المستعان .]) .

Dan sungguh itu telah tetap bahwasanya Rasulullah bersabda, “Siapa yang melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah (agama) dari kami, maka itu tertolak ” Dan pada sebuah riwayat: “Siapa yang mengada-adakan pada urusan (agama) kami yang tidak ada perintahnya, maka itu tertolak.”?

فَائِدَةٌ : ذَكَرَ النَّوَوِيُّ فِيْ أَذْكَارِهِ أَنَّهُ : يُسْتَحَبُّ لِلْقَارِىءِ إِذَا ابْتَدَأَ مِنْ وَسَطِ السُّوْرَةِ أَنْ يَبْتَدِىءَ مِنْ أَوَّلِ الْكَلاَمِ الْمُرْتَبِطِ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ،

Faedah : Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Kitab Al-Adzkar-nya, bahwasanya dianjurkan bagi pembaca Al-Quran, apabila memulai membaca Al-Qur’an dari pertengahan surat, dia memulai ayat yang ada kaitannya dengan ayat sebelumnya.

وَكَذَلِكَ إِذَا وَقَفَ يَقِفُ عَلَى الْمُرْتَبِطِ وَعِنْدَ انْتِهَاءِ الْكَلَامِ، وَلَا يَتَقَيَّدُ فِيْ الْاِبْتِدَاءِ وَلاَ فِيْ الْوَقْفِ بِالْأَجْزَاءِ وَاْلأَحْزَابِ واَلْأَعْشَارِ، فَإِنَّ كَثِيْراً مِنْهَا فِيْ وَسْطِ الْكَلَامِ الْمُرْتَبِطِ…

Begitu juga bila dia menghentikan bacaannya, sebaiknya dia berhenti pada ayat yang kalam itu selesai. Jangan terpaku pada juz, hizb, dan a’syar. Karena sebagian besar dari pembagian ini berhenti pada pertengahan kalam yang masih ada kaitannya dengan ayat lain.”

ثَمَّ قَالَ : وَلِهَذَا الْمَعْنَى قَالَ الْعُلَمَاءُ : قِرَاءَةُ سُوْرَةٍ بِكَمَالِهَا أَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ قَدْرِهَا مِنْ سُوْرَةٍ طَوِيْلَةٍ، لِأَنَّهُ قَدْ يَخْفَى الْاِرْتِبَاطُ عَلَى كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ أَوْ أَكْثَرِهِمْ فِيْ بَعْضِ الْأَحْوَالِ وَالْمَوَاطِنِ. ([ . ص163]) .

Kemudian Imam An-Nawawi berkata, “Karena makna inilah para ulama mengatakan, “Membaca surat dalam Al-Qur’an dengan sempurna itu lebih baik daripada membaca sebagian ayat dari surat yang panjang. Karena kemungkinan keterkaitan antar ayat itu tidak diketahui oleh sebagian manusia, atau bahkan kebanyakan tidak mengetahuinya. Pada sebagian kondisi dan tempat.”

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *