Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
فَقَدْ يَقُوْلُ مَنْ لَا عِلْمَ عِنْدَهُ لِمَاذَا تَكْرَهُوْنَ تَقْبِيْلَ الْمُصْحَفِ وَوَضْعَهُ بَيْنَ الْعَيْنَيْنِ، تَعْظِيْماً لَهُ وَتَقْدِيْساً لِكَلَامِ اللَّهِ ؟
Orang yang tidak memiliki ilmu mungkin akan berkata, mengapa kalian memakruhkan mencium mushaf dan menyentuhkannya diantara dua mata padahal hal itu sebagai tanda penghormatan dan pensucian kalamullah?
وَالْجَوَابُ أَنْ يُقَالَ : إِنَّ تَقْبِيْلَ الْمُصْحَفِ وَوَضْعَهُ بَيْنَ الْعَيْنَيْنِ وَنَحْوَهُ قُرْبَةٌ يَتَقَرَّبُ بِهَا الْعَبْدُ إِلَى اللَّهِ، وَطَرِيْقُ القُرْبِ مَوْقُوْفٌ حَتَّى يَثْبُتَ بِهِ الدَّلِيْلُ الَّذِيْ لاَ مُعَارِضَ لَهُ.
Maka jawabannya, sesungguhnya mencium mushaf dan menyentuhkannya diantara kedua mata dan yang semisalnya adalah bentuk qurbah (ibadah) yang seseorang itu mendekatkan dirinya kepada Allah, dan jalan ibadah itu ditentukan atas dalil yang shahih.
وَنَحْنُ نَمْنَعُ تَقْبِيْلَ الْمُصْحَفِ تَعْظِيْماً لِلَّهِ وَلِكَلَامِهِ وَتَعْظِيْماً لِسُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ بَلَغَنَا بِطَرِيْقٍ لَا نَشُكُّ فِيْهِ أَبَداً
Kami melarang mencium mushaf karena mengagungkan kalamullah dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh telah sampai kepada kami dengan jalan yang tidak ada keraguan padanya selamanya,
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. أَيْ مَرْدُوْدٌ عَلَى صَاحِبِهِ.
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang membuat-buat pada perkara agama kami yang tidak ada padanya, maka amalan itu tertolak, yakni tertolak atas pelakunya.
وَعَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ فِيْ الْمَسْأَلَةِ رِوَايَاتٌ مِنْهَا التَّوَقُّفُ فِيهِ وَفِي جَعْلِهِ عَلَى عَيْنَيْهِ قَالَ الْقَاضِي فِي الْجَامِعِ الْكَبِيرِ إنَّمَا تَوَقَّفَ عَنْ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِيهِ رِفْعَةٌ وَإِكْرَامٌ
Dan dari Imam Ahmad dalam masalah ini ada beberapa riwayat, diantaranya adalah Tawaquf (tidak ada komentar apa-apa). Al Qadhi dalam al Jaami’ al Kabir mengatakan, berdasarkan riwayat ini : Hanya saja beliau bertawaquf dari hal itu sekalipun disana ada penghormatan dan pemuliaan,
لِأَنَّ مَا طَرِيقُهُ الْقُرْبُ إذَا لَمْ يَكُنْ لِلْقِيَاسِ فِيهِ مَدْخَلٌ لَا يُسْتَحَبُّ فِعْلُهُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ تَعْظِيمٌ إلَّا بِتَوْقِيفٍ
karena praktek ibadah apapun jika analogi tidak dapat masuk disana tidak dianjurkan melakukannya, sekalipun pada amalan itu ada pengagungan.
أَلَا تَرَى أَنَّ عُمَرَ لَمَّا رَأَى الْحَجَرَ قَالَ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَك مَا قَبَّلْتُك.
Tidakkah engkau mengetahui bahwasanya tatkala melihat hajar aswad Umar berkata, “Engkau tidak memberi manfaat juga mudarat jika saja Rasulullah tidak menciummu, aku tidak akan menciummu”,
وَكَذَلِكَ مُعَاوِيَةُ لَمَّا طَافَ فَقَبَّلَ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ ابْنُ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ مَهْجُورٌ، فَقَالَ إنَّمَا هِيَ السُّنَّةُ فَأَنْكَرَ عَلَيْهِ الزِّيَادَةَ عَلَى فِعْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ([ . الآداب الشرعية . لابن مفلح (2/273)]) .
Begitu juga Mu’awiyah, ketika thowaf dan mencium semua rukun (sudut ka’bah), Ibnu Abbas menentangnya. Mua’wiyah berkata, “Di Ka’bah tidak ada sedikitpun yang ditinggalkan”. Ibnu Abbas berkata, “Itu mencium hajar aswad adalah sunnah”. Dia menentang tambahan yang dilakukan dari apa yang dicontohkan oleh Nabi .
ولما رَأَى رَجُلًا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: «يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَلَى الصَّلَاةِ؟» قَالَ: «لَا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ» ([ . التمهيد . لابن عبد البر(20/104) ط. دار طيبة .]) .
Tatkala Ibnu Mushayyib melihat seorang laki laki yang memperbanyak ruku dan sujud setelah shalat fajar, dia melarangnya. Laki-laki itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena shalat?”. Ibnu Mushayyab menjawab, “Tidak, tetapi karena menyalahi sunnah”.
قَالَتِ اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ : لَا نَعْلَمُ دَلِيْلاً عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَهُوَ أُنْزِلَ لِتِلَاوَتِهِ وَتَدَبُّرِهِ وَالْعَمَلِ بِهِ ([ فتوى (8852) (4/122)]) .
Al lajnah Ad Daaimah : “Kami tidak mengetahui dalil atas hukum mencium mushaf al Qur’an al Karim, dia diturunkan untuk dibaca, direnungi dan di amalkan”.