Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
وَفِيْهِ حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ : «مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، كَانَ إِذَا اشْتَهَى شَيْئًا أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ» ([ . رواه البخاري(5409)، ومسلم(2064)، وأحمد(9882)، والترمذي(2031)، وأبو داود(3763)، وابن ماجه(3259)، والبغوي في شرح السنة(2843)])
Padanya terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah mencela makanan sekalipun, jika makanan itu disukainya beliau akan memakannya, jika tidak beliau akan meninggalkannya.”
وَعَيْبُ الطَّعَامِ كَقَوْلِكَ : مَالِحٌ، قَلِيلُ الْمِلْحِ، حَامِضٌ رَقِيقٌ غَلِيظٌ غَيْرُ نَاضِجٍ وَنَحْوُ ذَلِكَ قاله النووي ([ . شرح مسلم . المجلد السابع(14/22)]) .
Contoh mencela makanan adalah seperti ungkapan : asin, kurang asin, asam, lembek, keras, kurang matang, dan lain-lain, Ini dikatakan oleh An-Nawawi.
وَعِلَّةُ النَّهْيِ فِيْ ذَلِكَ لِأَنَّ الطَّعَامَ خَلْقَةُ اللهِ فَلَا تُعَابُ، وَفِيْهِ وَجْهٌ آخَرُ وَهُوَ أَنَّ عَيْبَ الطَّعَامِ يُدْخِلُ عَلَى قَلْبِ الصَّانِعِ الْحَزَنَ وَالْأَلَمَ لِكَوْنِهِ الَّذِيْ أَعَّدَهُ وَهَيَأَهُ،
Alasan larangan itu adalah karena makanan itu diciptakan oleh Allah oleh karena itu tidak boleh dicela. Ada alasan lain yaitu, mencela makanan akan membuat sedih dan sakit hati orang yang memasaknya, karena dia yang membuatnya dan menghidangkannya.
فَسَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ هَذَا الْبَابَ حَتَّى لَا يَجِدُ الْحَزَنَ طَرِيْقاً إِلَى قَلْبِ الْمُسْلِمِ، وَالشَّرِيْعَةُ تَأْتِيْ بِمِثْلِ هَذَا دَائِماً .
Oleh karena itu, Nabi menutup pintu ini rapat-rapat hingga tidak ada kesedihan yang masuk ke hati seorang muslim, dan syariat selalu mengajarkan hal ini.
مَسْأَلَةٌ : هَلْ يَتَعَارَضُ هَذَا الْحَدِيْثُ مَعَ امْتِنَاعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ ([ .البخاري()، مسلم(1946)، أحمد(2679)، النسائي(4316)، أبو داود(3794)، ابن ماجه(3241)، مالك(1805)، الدارمي(2017)])
Permasalahan : Apakah hadits ini bertentangan dengan hadits yang di sana disebutkan bahwa Rasulullah tidak makan daging dhab.”
وَهَلْ يُعَدُّ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الضَّبِّ : «فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ» وَفِيْ رِوَايَةٍ : «هَذَا لَحْمٌ لَمْ آكُلْهُ قَطُّ» امْتِنَاعُهُ مِنْ عَيْبِ الطَّعَامِ ؟
Apakah sabda beliau tentang biawak, “Aku merasa jijik (tidak ingin memakannya), dan pada sebuah riwayat : “Daging ini tidak akan aku makan sedikit pun”, termasuk mencela makanan?
الْجَوَابُ : أَنَّهُ لَاتَعَارَضُ بَيْنَ الْحَدِيْثَيْنِ، وَلَيْسَ قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الضَّبِّ مِنْ عَيْبِ الطَّعَامِ، بَلْ هُوَ إِخْبَارٌ عَنْ سَبَبِ امْتِنَاعِهِ، وَهُوَ أَنَّهُ لَا يَشْتَهِيْ هَذَا النَّوْعَ مِنَ الطَّعَامِ وَلَمْ يَعْتَادَه.
Jawaban: Tidak ada yang kontradiksi antara dua hadits ini, dan sabda beliau tentang biawak bukanlah termasuk mencela makanan, Akan tetapi itu adalah pemberitahuan mengapa beliau tidak memakannya. Yaitu, karena beliau tidak menyukai makanan jenis ini dan tidak biasa memakannya.
قَالَ النَّوَوِيُّ : وَأَمَّا حَدِيثُ تَرْكِ أَكْلِ الضَّبِّ فَلَيْسَ هُوَ مِنْ عَيْبِ الطَّعَامِ إِنَّمَا هُوَ إِخْبَارٌ بِأَنَّ هَذَا الطَّعَامَ الْخَاصَ لَا أَشْتَهِيْهِ ([ . شرح مسلم . المجلد السابع (14/22)]).
An-Nawawi berkata, “Adapun hadits tidak memakan biawak bukanlah termasuk mencela makanan, tetapi Itu adalah pemberitahuan bahwa makanan yang khusus ini tidak beliau sukai”.