ADAB BUANG HAJAT – MENJAUHI TIGA TEMPAT YANG DILAKNAT

Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَةَ : الْبَرَازَ فِي الْمَوَارِدِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَالظِّلِّ ([ . رواه أبو داود(26) وقال الألباني: حسن ، وابن ماجه(328)]) .

Dari Mu’adz bin Jabal dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jauhilah tiga tempat yang dilaknat, buang air besar di jalan yang menuju ke tempat air, di jalan orang, dan di tempat berteduh.”

وَفِيْ حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ» قَالُوا :

Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Jauhilah dua orang yang dilaknat.” Para shahabat bertanya,

وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ : «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» ([ . رواه مسلم (269)، وأحمد(8636)، وأبو داود(25)]) .

“Siapa dua orang yang dilaknat wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang yang buang air di jalan orang, dan atau orang yang buang air di tempat berteduh mereka.”

وَحَدِيْثِ مُعَاذٍ انْفَرَدَ بِذِكْرِ الْمَوَارِدِ وَالْمَوْرِدَة وَهِيَ : الطَّرِيْقُ إِلَى الْمَاءِ ذَكَرَهُ فِيْ اللِّسَانِ ([ . (3/456) مادة:( ورد ) ]) .

Dan hadits Mu’adz yang hanya menyebutkan al mawarid atau al mauridah yaitu jalan yang menuju tempat air.”

وهي الْمَوَارِد : الْمَجَارِي وَالطُّرُقُ إِلَى الْمَاءِ وَاحِدُهَا: مَوْرِدٌ يُقَالُ: وَرَدْتَ الْمَاءَ إِذَا حَضَرْتَهُ لِتَشْرَبَ ([ . عون المعبود بشرح سنن أبي داود. المجلد الأول(1/31)]) .

Dan kata itu juga berarti sumber air, dan jalan menuju sumber itu. Bentuk mufrad-nya adalah maurid. Dikatakan waroddatil maa apabila kamu datangi air itu untuk kau minum.

وَالْحَدِيْثَانِ صُدِرَ أَحَدُهُمَا بِاجْتِنَابِ الْمَلَاعِنِ الثَّلَاثِ وَالْآخَرُ بِاتِّقَاءِ اللَّاعِنِيْنَ فَمَا الْمُرَادُ بِذَلِكَ.

Kedua hadits ini salah satunya disebutkan untuk menjauhkan tiga tempat yang dilaknat. Dan hadits yang lain disebutkan untuk menjauhi dua orang yang dilaknat. Apa maksud di balik hal itu?

قَالَ الْإِمَامُ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ الْمُرَادُ بِاللَّاعِنَيْنِ الْأَمْرَيْنِ الْجَالِبَيْنِ لِلَّعْنِ الْحَامِلَيْنِ النَّاسَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِيَيْنِ إِلَيْهِ وَذَلِكَ أَنَّ مَنْ فَعَلَهُمَا شُتِمَ وَلُعِنَ يَعْنِي عَادَةُ النَّاسِ لَعْنُهُ

Al-Khaththabi berkata, “Yang dimaksud dengan dua orang yang dilaknat adalah dua hal yang membuat pelakunya dilaknat, membuat orang-orang melaknat, dan membuat orang mendo’akan keburukan pagi pelakunya. Hal itu karena yang melakukannya dicela dan dilaknat, yakni biasanya orang-orang melaknatnya.

فَلَمَّا صَارَا سَبَبًا لِذَلِكَ أُضِيفَ اللَّعْنُ إِلَيْهِمَا قَالَ وَقَدْ يَكُونُ اللَّاعِنُ بِمَعْنَى الْمَلْعُونِ وَالْمَلَاعِنُ مَوَاضِعُ اللَّعْنِ

Tatkala kedua tempat itu menjadi penyebab dilaknatnya seseorang, maka tempat itu pun disebut sebagai tempat yang dapat melaknat.” Dia juga mengatakan bahwa kadang Al Lâ’in (orang yang melaknat) permakna Al Mal’ûn (yang dilaknat) dan Al Malâ’in (tempat yang dilaknat).

قُلْتُ فَعَلَى هَذَا يَكُونُ التَّقْدِيرُ اتَّقُوا الْأَمْرَيْنِ الْمَلْعُونُ فَاعِلُهُمَا وَهَذَا عَلَى رِوَايَةِ أَبِي دَاوُدَ وَأَمَّا رِوَايَةُ مُسْلِمٍ فَمَعْنَاهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Aku katakan, “Berdasarkan hal ini, maka maknanya menjadi jauhilah dua perkara, yang pelaku kedua hal ini akan dilaknat. Dan ini berdasarkan riwayat Abu Dawud. Adapun riwayat Muslim, maka maknanya wallahu a’lam adalah :

اتَّقُوا فِعْلَ اللَّعَّانَيْنِ أَيْ صَاحِبَيِ اللَّعْنِ وَهُمَا اللَّذَانِ يَلْعَنْهُمَا النَّاسُ فِي الْعَادَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ ([ . شرح مسلم للنووي . المجلد الثاني(3/132)]) .

Jauhkanlah perbuatan dua orang yang dilaknat, yakni dua orang yang mendapat laknat, dan keduanya ini yang dilaknat manusia pada umumnya. Wallahu a’lam.

وَعِلَّةُ النَّهْيِ عَنِ التَّخَلِّي فِيْ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ الثَّلَاثَةِ هُوَ أَنَّ تَقْذِيْرَ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ وَتَنْجِيْسَهَا بِالْقَذَرِ فِيْهِ إِيْذَاءٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَإِيْذَاءُهُمْ مُحَرَّمٌ بِنَصِّ الْكِتَابِ

Alasan larangan buang air di tempat-tempat ini adalah karena mengotori dan membuat tempat itu bernajis dan itu menyakiti orang-orang mukmin, sedangkan menyakiti mereka adalah diharamkan menurut nash Al-Qur’ an Al-Karim.

قَالَ تَعَالَى : {وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا} ([ [الأحزاب: 58].])

Allah Ta’ala berfiman, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

فَائِدَةٌ : يُلْحَقُ بِالظُّلِّ الْمَكَانُ الَّذِيْ يَتَشَمَّسُ فِيْهِ النَّاسُ أَيَّامَ الشِّتَاءِ، قَالَ الشَّيْخُ ابْنُ عُثَيْمِيْنَ : وَهَذَ قِيَاسٌ جَلِيُّ ([ . الشرح الممتع على زاد المستقنع (1/102) . دار آسام . ط. الثانية 1414هـ]).

Faidah Kesatu : Ad Dzillu (tempat berteduh), bisa berupa tempat yang dijadikan manusia berjemur saat musim dingin. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Ini adalah qiyas jaliy (kias yang jelas)”

وَعَلَى هَذَا فَلَا يَجُوْزُ التَّخَلِّيُ فِيْ هَذَا الْمَكَانِ لِأَنَّ الْعِلَّةَ فِيْ النَّهْيِ عَنِ الظُّلِّ مَوْجُوْدَةٌ هُنَا وَالْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَمًا.

Oleh karena itu, tidak boleh buang air di tempat Ini, karena alasan pelarangan itu ada juga di sini, dan hukum itu berlaku bersama dengan alasannya ada atau tidaknya.

فَائِدَةٌ 2 : الْأَحَادِيْثُ تُشِيْرُ إِلَى أَنَّ النَّهْيَ يُنْصَبُ عَلَى حَالِ التَّغَوُطِّ فَقَطْ دُوْنَ التَّبَوُّلِ.

Faedah Kedua : Hadits-hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasanya larangan Ini berhubungan dengan buang air besar saja, bukan kencing,

وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ النَّوَوِيُّ فَقَالَ فِيْ شَرْحِ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ، أَوْ فِي ظِلِّهِمْ» قَالَ : فَمَعْنَاهُ ‌يَتَغَوَّطُ ‌فِي ‌مَوْضِعٍ يَمُرُّ بِهِ النَّاسُ.

Dan Inilah pendapat An-Nawawi, dia berkata tentang penjelasan sabda Rasulullah (orang yang buang air di jalan orang, dan orang yang buang air tempat berteduh mereka), maknanya adalah buang air besar di jalan yang sering dilalui orang.

وَرَدَّ ذَلِكَ الْعَظِيْمُ آبَادِي فَقَالَ : فَلَا ‌يَصِحُّ ‌تَفْسِيرُ ‌النَّوَوِيِّ ‌بِالتَّغَوُّطِ وَلَوْ سُلِّمَ فَالْبَوْلُ يُلْحَقُ بِهِ قِيَاسًا…

Hal itu dibantah oleh Al-Azhim Abadi, dia berkata, “Dan tidak benar penafsiran Imam An-Nawawi bahwa hal itu khusus buang air besar saja. Jika memang diterima, maka kencing juga dikiaskan dengan buang air besar …,”

وقال: وَقَدْ عَلِمْتَ ‌أَنَّ ‌الْمُرَادَ ‌بِالتَّخَلِّي ‌التَّفَرُّدُ ‌لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ غَائِطًا أَوْ بَوْلًا…

dia selanjutnya berkata, “Dan Anda tahu bahwasanya yang dimaksud dengan التخلي adalah menyendiri untuk buang hajat, baik itu buang air besar atau kencing.

‌وَأَنْتَ ‌تَعْلَمُ ‌أَنَّ ‌الْبَرَازَ ‌اسْمٌ ‌لِلْفَضَاءِ الْوَاسِعِ مِنَ الْأَرْضِ وَكَنَّوْا بِهِ عَنْ حَاجَةِ الْإِنْسَانِ

Dan Anda juga mengetahui bahwa البراز adalah sebutan untuk tempat yang luas di atas tanah (padang), dan mereka (orang-orang Arab) menamakan buang hajat dengan kata ini.

يُقَالُ تَبَرَّزَ الرَّجُلُ إِذَا تَغَوَّطَ فَإِنَّهُ وَإِنْ كَانَ اسْمًا لِلْغَائِطِ لَكِنْ يُلْحَقُ بِهِ الْبَوْلُ ([ . انظر شرح مسلم للنووي . المجلد الثاني (3/132)، وعون المعبود . المجلد الأول (1/30-31)]) .

Dikatakan lelaki itu tabarraz bila dia buang air besar. Karena sekalipun itu nama untuk buang air besar, tetapi kencing juga termasuk maksud kata itu.”

مَسْأَلَةٌ : ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْتَتِرُ عِنْدَ قَضَاءِ حَاجَتِهِ بِحَائِشِ نَخْلٍ وَالْحَائِشُ لَهُ ظِلٌّ فَكَيْفَ نَجْمَعُ بَيْنَ فِعْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ نَهْيِهِ ؟

Permasalahan : Nabi apabila buang hajat, beliau bersembunyi di balik pohon kurma yang saling berhimpitan dan memiliki bayangan atau teduh. Bagaimana menyatukan antara apa yang dilakukan oleh Nabi dan apa yang dilarangnya?

الْجَوَابُ : إِنَّ الظِلَّ الَّذِيْ يُحْرَمُ التَّخَلِيُّ فِيْهِ هُوَ الظِّلُّ الَّذِيْ يَقْصُدُهُ النَّاسُ وَيَجْلِسُوْنَ فِيْهِ وَيَجْعَلُوْنَهُ مَقِيْلاً لَهُمْ

Jawaban : Sesungguhnya tempat teduh yang diharamkan adalah tempat berteduh yang dituju orang untuk berteduh dan mereka duduk di sana dan bahkan mereka tidur siang (qailulah) di bawah tempat teduh tersebut.

وَأَمَّا فِعْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُحْمَلُ عَلَى أَنَّ هَذَا الظِّلَ غَيْرُ مَقْصُوْدٍ وَلَا مَرْغُوْبٍ فِيْهِ وَحَاشَا أَنْ يَنْهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ ثُمَّ يَفْعَلُهُ.

Adapun yang dilakukan Nabi maka difahami bahwa tempat teduh ini bukanlah yang dituju dan disukai orang. Apalagi hal yang tidak mungkin Nabi melarang sesuatu lalu beliau melakukannya.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *