Hukum menikah berbeda beda tergantung keadaannya. Maka berlaku padanya hukum taklifi (pembebanan syari’at) yang lima sehingga menikah bisa berhukum wajib, mustahab, haram, makruh atau mubah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum asalnya menikah, dan pendapat yang rojih dalam masalah ini bahwa menikah asalnya adalah mustahab alias di anjurkan. ([1])
Para ulama’ telah bersepakat bahwa pernikahan disyari’atkan di dalam Islam. Dan menikah menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah hukumnya terbagi menjadi empat, yaitu :
1. Wajib
Menikah wajib hukumnya bagi seseorang yang memiliki syahwat besar dan khawatir dirinya akan terjerumus pada perzinaan, jika ia tidak segera menikah. Dengan pernikahan akan dapat menjaga kehormatannya. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ia berkata, Rasulullah k bersabda;
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
”Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mampu memberi nafkah, maka hendaklah ia (segera) menikah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena itu adalah pelindung baginya.”[2]
2. Mustahab (dianjurkan)
Menikah mustahab hukumnya bagi seorang yang berhasrat, namun ia tidak dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan. Meskipun demikian menikah lebih utama baginya daripada ia melakukan ibadah-ibadah sunnah. Ini adalah pendapat Jumhur ulama’, kecuali Imam Asy-Syafi’i f. Karena menikah merupakan penyempurna setengah agama. Rasulullah k bersabda;
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Jika seorang hamba telah menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam menjaga sisa(nya).”[3]
3. Makruh
Menikah makruh hukumnya bagi seorang yang belum berkeinginan untuk menikah dan ia juga belum mampu untuk menafkahi orang lain. Maka hendaknya ia mempersiapkan bekal untuk menikah terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman;
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
”Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah mereka menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya (QS. An-Nur : 33).
4. Haram
Menikah haram hukumnya bagi seorang yang akan melalaikan isterinya dalam hal jima’ dan nafkah, atau karena ketidak mampuannya dalam hal tersebut.
5. Mubah
Menurut sebagian ulama menikah hukum asalnya mubah kecuali ketika diniatkan untuk beribadah dan menjaga kehormatan maka hukumnya mustahab. Inilah madzhabnya Syafiiyyah ([4])
[1] (Al Jami’ul Masaail An Nikah hal. 12)
[2] Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 4779 dan Muslim : 1400.
[3] HR. Thabrani. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Silsilah Ash-Shahihah 2/ 625.
[4] (Al Jami’ul Masaail An Nikah hal. 17)
Dikutip dari : Ikatan Agung Pernikahan – Ustadz Abu Ghozie As-Sundawie