Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Bohong dan khianat termasuk sifat yang paling hina dan buruk. Seorang mukmin yang hatinya mendapatkan pancaran sinar iman dari Allah, tidaklah mungkin memiliki sifat-sifat itu, terlebih lagi pencari ilmu syari’at yang berarti tengah berusaha mendapatkan warisan para nabi, yang sampai malaikat saja menundukkan sayapnya karena rela dengan perbuatannya. Allah berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah yang di percayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal : 27)
Ilmu itu amanah dan tanggungjawab yang harus dipikul dan ditunaikan dengan penuh kejujuran dan rasa takut kepada Allah
Dan seorang penuntut ilmu haruslah menghindarkan diri dari menisbatkan sesuatu yang tidak shahih kepada Rasulullah atau menisbatkan perkataan yang tidak pernah beliau ucapkan.
Rasulullah melarang keras berbohong dalam menukil riwayat atau ceroboh dalam melakukannya. Sebagaimana Al-Bukhari meriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah bersabda :
«لاَ تَكْذِبُوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ»
“Jangan kalian berdusta atas namaku, sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia masuk neraka.”
Dan dalam riwayat lain :
فَلْيَتَبَوَّأ مقعَدَهُ مِن النارِ
“maka bersiap-siaplah tempat tinggalnya di neraka” (HR Bukhari 1/35)
Demikianlah, keharusan pelajar untuk menjaga kejujuran dan amanah ilmu saat mencarinya dan mengajarkannya bagi orang lain. Ia juga harus menjauhi pembelaan terhadap masalah apapun yang ia tahu bahwa yang benar tidak seperti itu. Apabila ia lupa akan satu perkara, kemudian kebenaran tampak jelas baginya, maka ia wajib segera kembali kepada kebenaran tanpa pertimbangan lain, agar ia tidak menjadi pengkhianat dalam ilmu.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
«تَنَاصَحُوا فِي الْعِلْمِ، فَإِنَّ خِيَانَةَ أَحَدِكُمْ فِي عَلِمِهِ أَشَدُّ مِنْ خيانَتِهِ فِي مَالِهِ، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ سَائِلُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Saling nasehatilah kalian dalam ilmu, karena khianat seseorang dalam ilmu lebih berat daripada berkhianat dalam hartanya, dan sesungguhnya Allah akan menanyaimu dihari kiamat.” (HR At Thabrani, Al Kabir)
Dan diantara kesalahan para pelajar dalam masalah ini, kecerobohan mereka dalam berfatwa karena sekedar membaca suatu hukum syar’i, kemudian ia mengira dirinya sudah berhak menyampaikan fatwa dan meluruskan pendapat-pendapat para ulama atau menyanggahnya.
Sungguh para salafus shalih rahimahullah adalah puncak dalam ketelitian, dan kehati-hatian dalam mengeluarkan fatwa bagi masyarakat. Itu disebabkan karena mereka khawatir akan jatuh dalam kesalahan atau mengada ada atas nama agama Allah tanpa ilmu, atau menisbatkan kepada syari’at sesuatu yang bukan darinya. Mereka menahan diri dari berfatwa meskipun kedudukan mereka mulia dan ilmu mereka banyak.
Dari Al Qashim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq bahwa ada seseorang yang datang kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka Al Qaahim berkata,
إنِّي لَا أُحْسِنُهُ، فَقَالَ لَهُ السَّائِلُ : إنِّي دُفِعْتُ اِلَيْكَ لَا أَعْرِفُ غَيْرَكَ، فَقَالَ الْقَاسِمُ : لَا تَنْظُرُ إلَى طُولِ لِحْيَتِي وَكَثْرَةِ النَّاسِ حَوْلِي، وَاَللَّهِ مَا أُحْسِنُهُ… ثُمَّ قَالَ : وَاَللَّهِ لَأَنْ يُقْطَعَ لِسَانِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَكَلَّم بِمَا لَا عِلْمَ لِي بِهِ.
Aku tidak mengetahuinya secara baik. Orang itu berkata, sesungguhnya aku terdorong datang kepadamu, aku tidak mengenal selainmu, Al Qashim menjawab : “Jangan melihat panjangnya jenggotku, dan banyaknya orang disekitarku. Demi Allah, aku tidak mengetahui secara baik. Kemudian ia melanjutkan, “Demi Allah, sungguh lidahku dipotong adalah lebih aku sukai daripada aku berbicara sesuatu yang aku tidak punya pengetahuan tentangnya” (Al Hafidz Ibnu Shalah, Adab Al Mufti Wal Mustafti hal. 78)
Sufyan bin ‘Uyanah rahimahullah mengatakan :
«أَجْسَرُ النَّاسِ عَلَى الْفُتْيَا أَقَلُّهُمْ عِلْمًا»
“Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya”. (Adabul Mufti Wal Mustafti, Ibnu Shalah, 78)
Haitsam bin Jamil rahimahullah berkata :
شَهِدْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ سُئِلَ عَنْ ثَمَانٍ وَأَرْبَعِينَ مَسْأَلَةً فَقَالَ فِي اثْنَتَيْنِ وَثَلَاثِينَ مِنْهَا لَا أَدْرِي
“Aku menyaksikan sendiri Imam Malik bin Anas ditanya tentang 48 pertanyaan, Ia menjawab dalam 32 pertanyaan dengan saya tidak tahu”. (Adabul Mufti Wal Mustafti, Ibnu Shalah, hal. 79)
Diantara Washiat Imam Al Ajiri rahimahullah kepada para penuntut Ilmu :
وَإِذَا سُئِلَ عَنْ عَلِمٍ لَا يَعْلَمُهُ لَمْ يَسْتَحِ أَنْ يَقُولَ : لَا أَعْلَمُ. وَإِذَا سُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَعَلِمَ أَنَّهَا مِنْ مَسَائِلِ الشَّغَبِ وَمِمَّا يُورِثُ الْفِتَنَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ اسْتَعْفَى مِنْهَا وَرَدَّ السَّائِلَ إِلَى مَا هُوَ أَوْلَى بِهِ عَلَى أَرْفَقِ مَا يَكُونُ
“Apabila ditanya tentang ilmu yang tidak ia ketahui, ia tidak malu mengatakan : Aku tidak tahu. Dan jika ia ditanya tentang suatu masalah dan ia tahu bahwa itu masalah yang menimbulkan kegaduhan dan diantara hal yang bisa menimbulkan fitnah ditengah-tengah kaum muslimin maka ia menahan diri dan mengarahkan si penanya kepada yang lebih utama dan lebih bijak
وَإِنْ أَفْتَى بِمَسْأَلَةٍ فَعَلِمَ أَنَّهُ أَخْطَأَ لَمْ يَسْتَنْكِفْ أَنْ يَرْجِعَ عَنْهَا وَإِنْ قَالَ قَوْلًا فَرَدَّهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ أَعْلَمُ مِنْهُ أَوْ مِثْلُهُ أَوْ دُونَهُ فَعَلِمَ أَنَّ الْقَوْلَ كَذَلِكَ رَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ
Dan jika berfatwa dalam satu masalah kemudian ia tahu bahwa dirinya bersalah, tidak menolak untuk menariknya kembali. Dan jika Ia menyampaikan satu pendapat kemudian disanggah oleh orang yang ilmunya lebih tinggi darinya atau sejajar dengannya atau dibawahnya, sehingga ia tahu bahwa pendapat yang benar adalah yang mereka kemukakan, maka ia menarik kembali pendapatnya,
وَحَمِدَهُ عَلَى ذَلِكَ وَجَزَاهُ خَيْرًا وَإِنْ سُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ اشْتَبَهَ الْقَوْلُ عَلَيْهِ فِيهَا قَالَ : سَلُوا غَيْرِي وَلَمْ يَتَكَلَّفْ مَا لَا يَتَقَرَّرُ عَلَيْهِ يَحْذَرُ مِنَ الْمَسَائِلِ الْمُحْدَثَاتِ فِي الْبِدَعِ لَا يُصْغِي إِلَى أَهْلِهَا بِسَمْعِهِ وَلَا يَرْضَى بِمُجَالَسَةِ أَهْلِ الْبِدَعِ وَلَا يُمَارِيهِمْ
Berterima kasih kepadanya atas hal itu, dan membalasnya dengan yang lebih baik dan jika ditanya dalam masalah yang pendapat tersebut tersamarkan padanya ia mengatakan bertanyalah kepada yang lain, ia tidak memaksakan diri pada perkara yang tidak tahu pasti atasnya. Hendaklah berhati-hati terhadap masalah-masalah yang diada-adakan dalam kebid’ahan. Janganlah mendengar perkataan ahli bid’ah. Jangan mau bermajelis dengan ahli bid’ah dan berdebat dengan mereka ”. (Akhlaqul ‘Ulama, Abu Bakar Al Ajiri, hal. 37)