Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
Sopan santun dan punya rasa malu adalah sifat yang harus dimiliki para penuntut ilmu agar berbeda dari teman-temannya dan para tetangganya.
Maka janganlah bermain-main yang tidak bermanfaat bersama mereka, dan janganlah menyibukkan diri dengan urusan sepele yang bisa menghilangkan posisi dan kedudukannya. Tetapi haruslah ia berhias dengan adab dan berdandan dengan mahkota ilmu, serta menjauhkan dirinya dari hal-hal yang hina dan rendahan.
Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
«إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلَاقِ، وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا»
“Sesungguhnya Allah mencintai perkara-perkara yang luhur dan mulia, dan Dia membenci perkara-perkara yang hina “ (HR At Thabrani, Mu’jamul kabir Al Jaami’ li Akhlaqir Rawi 1/92)
Dari Umar bin Khathab ia berkata,
تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ، وَتَعَلَّمُوا لِلْعِلْمِ السَّكِينَةَ وَالْحُلْمَ
“Belajarlah ilmu, dan belajarlah untuk tenang dan santun untuk ilmu.” (Al Jaami’ li Akhlaqir Rawi 1/93)
Dari Malik bahwa ia berkata,
«إِنَّ حَقًّا عَلَى مِنْ طَلَبَ الْعِلْمَ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَقَارٌ وَسَكِينَةٌ وَخَشْيَةٌ، وَأَنْ يَكُونَ مُتَّبَعًا لِأَثَرِ مَنْ مَضَى قَبْلَهُ»
“Sesunggulnya penuntut ilmu wajib memiliki sifat sopan, tenang, takut kepada Allah dan haruslah ia mengikuti jejak para salaf.” (Al Jaami’ li Akhlaqir Rawi 1/156)
Al-Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata,
يَجِبُ عَلَى طَالِبِ الْحَدِيْثِ أَنْ يَتَجَنَّبَ اللَّعِبَ وَالْعَبَثَ وَالتَّبَذُّلَ فِيْ الْمَجَالِسِ بِالسُّخْفِ وَالضَّحِكِ وَالْقَهْقَهَةِ وَكَثْرَةِ التَّنَادر وَإِدْمَانِ الْمِزَاحِ وَالْإِكْثَارِ مِنْهُ فَإِنَّمَا يُسْتَجَازُ مِنَ الْمِزَاحِ يَسِيْرُهُ وَنَاِدرُهُ وَطَرِيْفُهُ الَّذِيْ لَا يَخْرُجُ عَنْ حَدِّ الْأَدَبِ وَطَرِيْقَةِ الْعِلْمِ فَأَمَّا مُتَصِلُهُ وَفَاحِشُهُ وَسَخِيْفُهُ وَمَا أَوْغَرَ مِنْهُ الصُّدُوْرَ وَجَلَب الشَّرَّ فَإِنَّهُ مَذْمُوْمٌ وَكَثْرَةُ الْمِزَاحُ وَالضَّحِكِ يَضَعُ مِنَ الْقَدْرِ وَيُزِيْلُ الْمُرُوْءَةَ
“Orang yang belajar hadits wajib menjauhi sikap main-main dan menghabiskan waktu di majelis ilmu dengan sendau-gurau, bercanda, tertawa terbahak-bahak, melawak, dan banyak melucu. Bolehnya bercanda itu sedikit saja, dan jarang, serta lucunya tidak boleh keluar dari adab dan jaian ilmu. Adapun yang terus-menerus, yang jorok, yang berpikir rendahan, yang membuat berang dalam dada, dan mendatangkan kejahatan, maka itu jelas tercela. Banyak bercanda dan tertawa akan menurunkan wibawa dan menghilangkan muru’ah (harga diri).” (Al Jaami’ li Akhlaqir Rawi 1/156)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
فَلَيْسَ صَاحِبُ الْعِلْمِ وَالْفُتْيَا إلَى شَيْءٍ أَحْوَجَ مِنْهُ إلَى الْحِلْمِ وَالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ؛ فَإِنَّهَا كِسْوَةُ عِلْمِهِ وَجَمَالِهِ، وَإِذَا فَقَدَهَا كَانَ عِلْمُهُ كَالْبَدَنِ الْعَارِي مِنْ اللِّبَاسِ
“Tidak ada yang dibutuhkan oleh orang yang berilmu dan ahli fatwa selain dari sikap santun, tenang, dan sopan. Itulah pakaian dan perhiasan bagi ilmunya. Apabila ia kehilangan itu, maka ilmunya seperti badan yang telanjang tanpa busana”. (A’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim 4:120)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan :
«إِذَا كَانَ نَهَارِي نَهَارَ سَفِيهٍ وَلَيْلِي لَيْلَ جَاهِلٍ فَمَا أَصْنَعُ بِالْعِلْمِ الَّذِي كَتَبْتُ؟»
“Apabila siang hari orang yang tidak sempurna akalnya, dan malamku malam orang yang jahil, maka apalah artinya aku berbuat dengan ilmu yang sudah aku tuliskan”. (Akhlaqul ‘Ulama, 51)
Dan sikap sopan itu lebih penting lagi bagi penuntut ilmu atau santri tahfidz Al Quran, pengemban Al-Qur’an mendapat kemuliaan dari Allah Karenanya ia harus menghargai kitabullah yang Allah berikan kepadanya untuk menghafalnya dalam dadanya. Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
Al Fudhail bin ‘Iyad rahimullah mengatakan :
«حَامِلُ الْقُرْآنِ حَامِلُ رَايَةِ الْإِسْلَامِ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَلْهُوَ مَعَ مَنْ يَلْهُو وَيَسْهُوَ مَعَ مَنْ يَسْهُو وَيَلْغُوَ مَعَ مَنْ يَلْغُو تَعْظِيْمًا لِحَقِّ الْقُرْآنِ»
“Pengemban Al Qur’an adalah pengemban bendera Islam. Ia tidaklah pantas bersenda gurau bersama orang yang suka bersenda gurau, lalai bersama orang yang lalai, berbuat hal yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, dalam rangka mengagungkan hak Al Qur’an”. (At Tibyan Fi Adabi Hamlatil Qur’an, An Nawawi, 44)