Oleh : Ustadz Abu Ghozie As Sundawie
وَفِيْهِ حَدِيْثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «إِذَا وُضِعَ العَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ» ([ . رواه البخاري(5464)، ومسلم(557)، وأحمد(12234)، والترمذي(353)، والنسائي(853)، والدارمي(1281)])
Dan dalam masalah ini ada sebuah dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dari Nabi beliau bersabda, “Jika telah dihidangkan makan malam, dan shalat akan dilaksanakan, maka dahulukanlah makan malam.”
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ وَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ» ([ رواه البخاري(674)، مسلم(559)، أحمد(5772)، الترمذي(354)، أبو داود(3757)، ابن ماجه(934)، الدارمي(1281)]) .
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Jika makan malam kalian telah disiapkan, dan shalat hendak dilaksanakan, maka dahulukanlah makan malam, dan janganlah terburu-buru hingga selesai dari makan.”
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ : «يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ، وَتُقَامُ الصَّلاَةُ، فَلاَ يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الإِمَامِ»
Dan Ibnu umar pernah dihidangkan makanan untuknya, lalu shalat di kumandangkan iqamah, maka beliau tidak mendatangi shalat sehingga selesai makan padahal beliau mendengar bacaan Imam
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ-رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- إِذَا قُدِّمَ لَهُ عَشَاءُهُ وَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ لَا يَقُوْمُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, apabila dihidangkan makan malam untuknya, dan waktu shalat telah tiba, dia tidak bangun untuk shalat hingga selesai makan malam.
رَوَى الْاِمَامُ أَحْمَدُ فِيْ مُسْنَدِهِ : عَنِ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُقَدَّمُ إِلَيْهِ الطَّعَامُ وَقَدْ نُودِيَ لِصَلَاةِ الْمَغْرِبِ، ثُمَّ تُقَامُ وَهُوَ يَسْمَعُ فَلَا يَتْرُكُ عَشَاءَهُ وَلَا يَعْجَلُ حَتَّى يَقْضِيَ عَشَاءَهُ،
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnad-nya, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar kadang-kadang berpuasa. Maka, dihidangkanlah makanan untuknya padahal kumandang adzan maghrib telah terdengar iqamah dan dia pun mendengarnya. Dan dia tidak meninggalkan makan malamnya dan tidak tergesa-gesa makan hingga beliau selesai makan malamnya.
ثُمَّ يَخْرُجُ فَيُصَلِّي، وَقَدْ كَانَ يَقُولُ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «لَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ إِذَا قُدِّمَ إِلَيْكُمْ» ([ . المسند (6323)]) .
Setelah itu barulah melaksanakan shalat. Nafi’ berkata, Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian terburu-buru ketika makan malam kalian telah dihidangkan di hadapan kalian”
وَالْعِلَّةُ فِيْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَقُوْمَ الْمَرْءُ وَنَفْسُهُ تَتُوقُ إِلَى الطَّعَامِ فَيَحْصُلُ لَهُ مِنَ التَّشْوِيْشِ الَّذِيْ يَذْهَبُ مَعَهُ خُشُوْعُهُ.
Alasannya, agar saat seseorang melaksanakan shalat pikirannya terbayang-bayang makanan, maka terjadilah gangguan yang menghilangkan kekhusyu’annya.
قَالَ ابْنُ حَجَرٍ : وَرَوَى سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَبْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وبن عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا كَانَا يَأْكُلَانِ طَعَامًا وَفِي التَّنُّورِ شِوَاءٌ
Ibnu Hajar mengatakan bahwa Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah Abbas radhiyallahu ‘anhumna, “Ketika keduanya hendak makan makanan dan di dapur tersedia daging panggang.
فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُقِيمَ فَقَالَ لَهُ بن عَبَّاسٍ لَا تَعْجَلْ لِئَلَّا نَقُومَ وَفِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْء
Kemudian seorang mu’adzin hendak iqamah, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru, agar ketika melaksanakan shalat, hati kita tidak terpikir makanan”.
وَفِي رِوَايَة بن أَبِي شَيْبَةَ : لِئَلَّا يَعْرِضَ لَنَا فِي صَلَاتِنَا ([ . فتح الباري (2/189)])
Dan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, “Jangan shalat terlebih dahulu, hingga kita selesai makan agar makanan tidak masuk pikiran kita ketika kita shalat.”
وَلَيْسَ هَذَا الْأَمْرُ خَاصًّا بِالْعَشَاءِ وَحْدَهُ إِنَّمَا هُوَ فِيْ كُلِّ طَعَامٍ تتشوف النفس إليه، وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ نهي النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَعِنْدَ مُدَافَعَةِ الْأَخْبَثَانِ، وَالْعِلَّةُ ظَاهِرَةٌ.
Larangan ini bukanlah khusus pada waktu makan malam saja, tetapi berlaku untuk setiap makanan yang hendak disantap. Hal itu diperkuat oleh larangan Rasulullah dari shalat ketika makanan siap, dan ketika menahan buang air besar, buang air kecil. Alasannya sudah jelas.
فَعَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول : «لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ» ([ . رواه مسلم (560)، أحمد (23646)، أبو داود (89)]) .
Dari ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia mendengar rasulullah bersabda, “Janganlah mengerjakan shalat ketika makanan sudah siap, jangan shalat dalam keadaan menahan buang air besar dan buang air kecil.”
فَائِدَةٌ : قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ : مَنْ حَضَرَ طَعَامُهُ ثُمَّ أُقِيْمَتِ الصَّلَاةُ، فَإِنَّهُ يَنْبَغِيْ عَلَيْهِ أَنْ يَأْكُلَ لُقَيْمَاتٍ يُكْسِرُ بِهَا سُوْرَةَ الْجُوْعِ.
Faidah : Sebagian ulama berkata, “Barang siapa yang makanannya sudah dihidangkan, kemudian iqamah shalat dikumandangkan, sebaiknya dia memakan beberapa suap yang akan menghilangkan rasa laparnya.”
وَرَدَّ ذَلِكَ النَّوَوِيُّ فَقَالَ : وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يَعْجَلَنَّ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَأْكُلُ حَاجَتَهُ مِنَ الْأَكْلِ بِكَمَالِهِ وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ
Hal itu dibantah oleh An-Nawawi, dia berkata, “Sabda Rasulullah Dan jangan tergesa-gesa hingga dia selesai makan adalah dalil bahwa dia makan semuanya hingga kebutuhannya terpenuhi, dan inilah yang benar.
وَأَمَّا مَا تَأَوَّلَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَلَى أَنَّهُ يَأْكُلُ لُقَمًا يَكْسِرُ بِهَا شِدَّةَ الْجُوعِ فَلَيْسَ بِصَحِيحٍ وَهَذَا الْحَدِيثُ صَرِيحٌ فِي إِبْطَالِهِ ([ . مسلم بشرح النووي . المجلد الثالث (5/38)]) .
Adapun apa yang ditakwilkan oleh sebagian sahabat kami bahwa ia boleh memakan beberapa suap yang hanya menghilangkan rasa laparnya saja, itu tidak benar. Hadits ini secara jelas membantahnya.”
مَسْأَلَةٌ : إِذَا حَضَرَ الطَّعَامُ وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ، فَهَلْ يَجِبُ الْأَكْلُ مِنْهُ لِلظَّاهِرِ الْحَدِيْثِ، أَمْ أَنَّ ذَلِكَ عَلَى الْاِسْتِحْبَابِ ؟
Permasalahan : Apabila makanan dihidangkan dan iqamah dikumandangkan, apakah wajib makan makanan itu berdasarkan dzahirnya hadits, atau itu hanya dianjurkan saja?
الْجَوَابُ : فِعْلُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِيْ رِوَايَةِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ، يَدُلُّ عَلَى تَقْدِيْمِ الْأَكْلِ مُطْلَقاً، وَمِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ مَنْ قَيَّدَ ذَلِكَ بِتَعَلُّقِ النَّفْسِ وتَشَوُّفِهَا إِلَى الطَّعَامِ
Jawaban : Praktek Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan Ahmad dan lain-lain menunjukkan kepada mendahulukan makan secara mutlak. Di antara ulama ada yang mengaitkannya dengan kondisi seseorang terhadap makanan.
فَإِنْ كَانَتْ نَفْسُهُ تَتَوَّقُ إِلَى الطَّعَامِ فَإِنَّ الْأَوْلَى فِيْ حَقِّهِ أَنْ يُصِيْبَ مِنْهُ حَتَّى يَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ خَاشِعٌ،
Jika dirinya sangat lapar dan ingin makan, maka makan terlebih dahulu itu lebih utama, hingga dia mengerjakan shalat dengan khusyuk.
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- «مِنْ فِقْهِ المَرْءِ إِقْبَالُهُ عَلَى حَاجَتِهِ حَتَّى يُقْبِلَ عَلَى صَلاَتِهِ وَقَلْبُهُ فَارِغٌ» ([ . علقه البخاري في كتاب الأذان . باب : إذا حضر الطعام وأقيمت الصلاة. وهذا الأثر وصله ابن المبارك في كتاب الزهد. وأخرجه محمد بن نصر المروزي في كتاب تعظيم قدر الصلاة من طريقه. قاله ابن حجر . فتح الباري(2/187)]) .
Di antaranya adalah ucapan Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, “Di antara bukti fahamnya seseorang dia menunaikan kebutuhannya hingga dia mengerjakan shalat dan hatinya khusyuk.”
وَالْمُخْتَارُ مِنْ ذَلِكَ مَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فَإِنَّهُ بَعْدَ أَنْ سَاقَ أَثَرَ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَثَرَ الْحَسَنِ بْنَ عَلِيٍّ قَالَ الْعَشَاءُ قَبْلَ الصَّلَاةِ يُذْهِبُ النَّفْسَ اللَّوَّامَةَ
Dan yang menjadi pilihan adalah apa yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar setelah menyebutkan atsar Ibnu Abbas dan atsar Hasan bin Ali, “Makan malam sebelum shalat menghilangkan nafs al-lawwamah.”
قَالَ : وَفِي هَذَا كُلِّهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِي ذَلِكَ تَشَوُّفُ النَّفْسِ إِلَى الطَّعَامِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُدَارَ الْحُكْمُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُودًا وَعَدَمًا وَلَا يَتَقَيَّدُ بِكُلٍّ وَلَا بَعْضٍ ([ . فتح الباري (2/189-190)]) .
Dia berkata, “Pada ini semua ada isyarat bahwasanya penyebab atau alasan hal itu adalah takut hati memikirkan makanan. Maka, sebaiknya hukum ini diberlakukan bersama dengan illat-nya, ada dan tidaknya. Dan tidak mengaitkannya dengan semua atau sebagiannya.”